Sunday, July 2, 2017

Cekungan Sumatera tengah #4

4.1         REGIONAL

4.1.1        Geometri Cekungan

Cekungan Sumatera Tengah memiliki luas sekitar 103.500 km2, yang sebagian besar terdiri dari area berupa daratan (Gambar 4.1). Secara geografis cekungan ini terletak antara 900­­ - 1030­ BT dan 10 LS - 40 LUPada bagian utara, Cekuingan Sumatera Tengah dipisahkan dari Cekungan Sumatera Utara oleh Tinggian Asahan, sedangkan di bagian selatannya dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan oleh Pegunungan Tigapuluh.
Gambar 4.1 Peta lokasi Cekungan Sumatera Tengah.

4.1.2        Sejarah Eksplorasi

Eksplorasi paling awal yang pernah dilakukan di Cekungan Sumatera Tengah dipandu oleh penemuan rembesan minyak pada struktur antiklin yang kemudian memicu penemuan Lapangan Minyak Kampung pada tahun 1896 (Macgregor, 1995). Lapangan minyak ini dilaporkan memiliki cadangan sebesar 31,3 MMBOE, berada pada endapan delta Formasi Muara Enim berumur Pliosen (Zeliff dkk., 1985). Beberapa struktur antiklin yang teridentifikasi di permukaan telah dipetakan pada cekungan ini. Secara umum, struktur antiklin yang berkembang di daerah ini memiliki kecenderungan berarah baratlaut-tenggara, perlipatan semakin intensif di utara dibandingkan selatan (van Bemmelen, 1949).  Hingga 1921, target eksplorasi Cekungan Sumatera Tengah ditujukan pada batupasir Formasi Air Benakat dan penetrasi target terdalam adalah pada Formasi Gumai (Zeliff dkk., 1985).

Tahun 1921 Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM), perusahaan yang dibentuk oleh  Standard of New Jersey (SONJ), menemukan Lapangan Minyak Pendopo/Talang Akar (Zeliff dkk., 1985). Penemuan minyak pada batupasir Formasi Talang Akar merupakan penemuan lapangan minyak terbesar di selatan Pulau Sumatera dengan perkiraan cadangan sebesar 360 MMBOE (Zeliff dkk,, 1985). Perhitungan cadangan pada tahun 1996 menunjukan bahwa cadangan minyak di Cekungan Sumatera Tengah telah meningkat sebesar 15% (Petroconsultants, 1996).

Tahun 1968, PT.CPI (Caltex Pacific Indonesia) melakukan 270 pemboran sumur wildcat di Cekungan Sumatera Tengah, 107 diantaranya ditemukan minyak dan gas, dan mendeliniasi 98 lapangan minyak baru. Kegiatan eksplorasi PT.CPI berlangsung gencar dari tahun 1970-an hingga 1980-an, meliputi kegiatan akuisisi seismik dan pemboran wildcat. Operator-operator lain yang beroperasi di Cekungan Sumatera Tengah antara lain, Royal Dutch Shell, Stanvac, Pan American Oil (Amoco), Union Oil, Arco, Mobil, Amoco, Conoco dan Total.

Pada Cekungan Sumatera Tengah, minyak diproduksi dari reservoir post rift berumur Miosen Awal dari Grup Sihapas. Sebagian kecil produksi dihasilkan dari reservoir klastik Grup Pematang (endapan syn-rift). Karakter spesifik Cekungan Sumatera Tengah adalah ketidakhadiran reservoir karbonat, seperti di Cekungan Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur Utara.

4.2         TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Pulau Sumatera merupakan bagian Daratan Sunda terletak dibagian tepi tenggara yang merupakan perluasan Lempeng Benua Asia. Daratan Sunda ditafsirkan oleh Pulunggono dan Cameron (1984) dan Suparka (1995) sebagai hasil penyatuan berbagai unsur kerak, sebagian berasal dari selatan, yang terjadi melalui benturan antara lempeng-lempeng litosfir dan busur kepulauan (Gambar 4.2). Metcalfe (1988) menafsirkan semua wilayah timur dan tenggara Lempeng Benua Asia berasal dari tepi Benua Gondwana. Menjelang Mesozoikum, suatu wilayah yang terdiri dari lempeng-lempeng yang berasal dari Gondwana tersebut membentuk “inti” Daratan Sunda, yang dikelilingi oleh jalur-jalur subduksi. 
Gambar 4.2 Sebaran Daratan Sunda yang merupakan perluasan ke tenggara Benua Asia.
Gambar 4.3 Mekanisme tektonik ekstrusi Asia Tenggara (Tapponnier, 1986)
Kelompok batuan dengan ciri-ciri produk busur volkanik dapat dijumpai di sepanjang Pulau Sumatera, batuan ini ditafsirkan sebagai akibat terjadinya interaksi konvergen yang disertai subduksi Lempeng Asia sejak Permian (Katili, 1973 dan Katili, 1975). (1) interaksi konvergen yang disertai subduksi antara Lempeng Samudra Hindia-Australia dengan Lempeng Benua Eurasia, (2) benturan antara fragmen Lempeng Benua Hindia yang bergerak ke utara dengan Asia, dan (3) interaksi konvergen antara Lempeng Pasifik di timur yang bergerak ke barat dengan Lempeng Asia (Hall dan Blundell, 1996). Benturan antara Hindia dan Asia mengakibatkan terjadinya rotasi dan ekstrusi pecahan tepi timur Benua Asia ke arah tenggara melalui sesar-sesar mendatar, yang kemudian menjadi tipe mekanisme untuk deformasi wilayah Daratan Sunda (Tapponnier dkk., 1986) (Gambar 4.3). 
Packham (2006) membagi gerak-gerak tektonik di wilayah Asia Tenggara kedalam tiga fase:

(1) Eosen hingga Oligosen,
(2) Oligosen hingga Miosen Tengah dan,
(3) Miosen Tengah hingga sekarang.

Daerah penelitian termasuk kedalam wilayah Cekungan Sumatera Tengah yang merupakan salah satu dari tiga cekungan penghasil minyak di Sumatera bagian timur yang berkembang sebagai cekungan-cekungan sedimentasi dibelakang busur volkanik. Geologi dan perkembangan tektonik wilayah ini telah banyak diteliti. Namun tulisan-tulisan yang umum berkembang cenderung mengungkapkan masalah-masalah dan informasi yang berkaitan dengan batuan sedimen yang mengisinya dan hanya sedikit sekali yang membahas mengenai perkembangan tektonik terutama yang berkaitan dengan cara pembentukan cekungan, proses deformasi yang mengubah sifat cekungan secara global, dan sifat-sifat batuan dasarnya. Struktur awal batuan dasar suatu cekungan akan menjadi faktor penting dalam perkembangan tektonik selanjutnya. Hal ini akan menentukan ukuran, arah dan sebaran daripada bentuk-bentuk tinggian (highs) dan dan rendahan (lows) yang akan berperan mengatur dan mempengaruhi proses sedimentasi dalam cekungan (Gambar 4.4, Gambar 4.5 dan Gambar 4.6). 
Gambar 4.4 Struktur batuan dasar di Sumatera Selatan menentukan bentuk, arah dan ukuran daripada cekungan-cekungan di Sumatera Selatan (Pertamina-BEICIP, 1992).
Gambar 4.5 Pola struktur batuan dasar Cekungan Sumatera Tengah (Pertamina dan BPPKA, 1996).
Gambar 4.6 Penampang seismik NE-SW dan B-B’ pada cekungan Sumatera Tengah, indeks penampang seismik dapat dilihat pada gambar 5 (Pertamina-BEICIP, 1992).
Pada umumnya, sebaran dan komposisi litologi batuan dasar kurang mendapatkan perhatian dalam penelitian sebuah cekungan yang disebabkan oleh kurangnya data bawah permukaan. Komposisi litologi batuan dasar ternyata sangat berperan dalam menentukan potensi hidrokarbon suatu cekungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa cekungan-cekungan yang didasari oleh batuan dasar yang berasal dari kerak benua (granitis) akan memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan dengan yang didasari oleh kerak samudra (basaltis). Komposisi tersebut akan menentukan susunan batuan sedimen diatasnya terutama terhadap sifat batuan reservoirnya. Struktur pada batuan dasar sebagai produk daripada deformasi, yang berlangsung baik selama maupun setelah pembentukannya, juga memungkinkan terbentuknya sifat fisik yang dapat mengubahnya sebagai batuan reservoir yang potensial. 
Pembahasan perkembangan tektonik regional Cekungan Sumatera Tengah akan dimulai dari jaman Pra-Tersier dengan tujuan untuk mengungkap sifat-sifat dari batuan dasar yang melandasi cekungan, dan proses awal pembentukan dari cekungan.

4.2.1        Episode Jura Akhir – Awal Kapur (165 Ma – 120 Ma)

Pembentukan Lempeng Mikro Sunda. Daratan Sunda diindikasikan terdiri dari unsur-unsur yang berasal dari Eurasia yang menyatu dengan lempengan-lempengan yang merupakan pecahan Gondwana di selatan yang bergeser ke utara sebagai akibat pemisahan disekitar Benua Australia. Daratan Sunda mulai “lengkap” terbentuk setelah secara bertahap fragmen-fragmen Gondwana tersebut menyatu dengan Eurasia yang ada di utara melalui pembentukan jalur-jalur sutura sejak Paleozoikum Akhir hingga Mesozoikum Akhir (Wakita dan Metcalfe, 1988) (Gambar 4.7).
Gambar 4.7 Rekonstruksi Jura akhir sampai Kapur Awal (Wakita dan Metcalfe, 2005).
Salah satu jalur sutura adalah jalur Raub-Bentong yang membentang utara-selatan mulai dari Semenanjung Malaya di utara, dan ditafsirkan berlanjut ke Sumatera di selatan. Meskipun hal ini masih diperdebatkan, sebagian besar peneliti dapat menerima pendapat mengenai keberadaannya di Sumatera (Hamilton 1979; Pulunggono dan Cameron, 1984) (Gambar 4.8).  Keberadaan jalur sutura sebagai bagian dari tatanan geologi Pulau Sumatera mempunyai peranan yang penting, selain sebagai unsur satuan tektonik yang mempengaruhi pola struktur batuan dasar, juga sifat fisik dan petrologinya ternyata turut menentukan potensi hidrokarbon cekungan yang berada diatasnya. Di Cekungan Sumatera Tengah jalur ini dapat dikenali dari data beberapa pemboran dalam, dan dikenal sebagai jalur atau Komplek Mutus (Gambar 4.9).
Gambar 4.8 Jalur sutura yang diajukan oleh beberapa peneliti (Metcalfe, 1988).
Gambar 4.9 Sebaran jalur sutura atau Komplek Mutus di Cekungan Sumatera Tengah (Pulunggono dan Cameron, 1984).
Kompleks Mutus yang tersingkap di Semenanjung Malaya, dianggap sebagai batas tektonik antara mandala Sibumasu dan Indo-China/Malaya Timur. Jalur tersebut terdiri dari batuan melange, batuan sedimen laut (termasuk rijang berlapis), sekis, dan kepingan-kepingan berbentuk lonjong yang terpisah-pisah dari batuan ofiolit yang terserpentinkan (Tjia, 1987 dan  Hutchinson, 1989) (Gambar 4.8). Berdasarkan komposisi dan sifat-sifat batuannya, jalur sutura tersebut diindikasikan sebagai jalur benturan antara dua kepingan lempeng litosfir (Metcalfe, 1989). Berdasarkan data umur batuan yang diperoleh dari batuan beku granit yang menyertai benturan tersebut, proses benturan ini berlangsung pada jaman Permian atau Trias.
Gambar 4.10 Sebaran mandala-mandala tektonik dan jalur-jalur sutura di Wilayah Asia Tenggara, Tengah dan Timur (11: Raub-Bentong).
Apabila dua lempeng saling berbenturan, seperti antara Sibumasu dan Malaya Timur, maka reaksi yang akan timbul adalah gaya tarikan dengan arah berlawanan terhadap arah benturan. Disamping rekahan-rekahan kompresi yang terbentuk, rekahan-rekahan ekstensional juga terbentuk dengan arah sejajar jalur sutua, atau dalam kedudukannya sekarang ini adalah arah utara-selatan. Arah inilah yang kemudian mendominasi di Cekungan Sumatera Tengah dan menentukan bentuk serta arah-arah cekungan khususnya di Sumatera Tengah (Gambar 4.10, dan Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Penyebaran struktur pada jalur sutura.

4.2.2        Episode Kapur Akhir (120-75 Ma)

 Diperkirakan pada periode ini terjadi peubahan arah subduksi yang terjadi pada tepi Benua Asia dari high angle menjadi miring atau oblique yang berkaitan dengan peubahan pola pusat pemekaran samudra. Beberapa bagian lempeng benua, mulai menyatu dengan Daratan Sunda. Hal ini ditandai pula dengan terhentinya kegiatan magma pada kisaran waktu 75-60 jtl, yang ditafsirkan sebagai akibat deformasi yang terjadi pada Kapur Akhir (Coster, 1974; Hamilton 1979; Pulungono & Cameron, 1984) (Gambar 4.12).
Gambar 4.12 Rekonstruksi Kapur Awal sampai Eosen Tengah (Wakita dan Metcalfe, 2005).

4.2.3      Episode Awal Eosen (60 – 50 Ma)

Subduksi yang baru, dimulai lagi di bagian tepi benua Daratan Sunda sesudah terjadinya gejala deformasi. Subduksi yang berlangsung singkat kemudian terhenti setelah India mulai bersentuhan dengan Benua Asia pada 50 jtl, dan fragmen Woyla bertumbukan dengan Sumatera atau tepi Daratan Sunda (Court dkk., 1996) (Gambar 4.13). Terhentinya kegiatan magma Kapur Akhir ini diikuti dengan pengangkatan global di Sumatera, yang juga merupakan awal dari tektonik ekstensional. 
Gambar 4.13 Posisi Tektonik Cekungan Sumatera Tengah pada Eosen Awal (Kingston dkk., 1983).
Gambar 4.13. Perkiraan kedudukan tektonik Pulau Sumatera sebelum terjadinya tumbukan antara India dengan Asia pada Eosen; jalur sutura menjadi pemisah antara Sibumasu dan Malaya Timur (McCourt dkk., 1996).
Tumbukan India dengan Asia, oleh sebagian ahli tektonik Asia, dianggap sebagai penyebab terjadinya tektonik ekstensi serta permulaan pembentukan cekungan-cekungan ekstensi (rift basins) di wilayah Asia Tenggara (Daratan Sunda), meskipun waktu tepat pembentukannya belum dapat ditentukan, namun pada periode inilah diperkirakan saat dimulainya pembentukan cekungan-cekungan di wilayah Asia Tenggara. Cekungan-cekungan ekstensional (rift basins) dengan arah mengikuti pola sesar pada batuan dasar (sejajar dengan Sutura Bentong-Raub) kemudian diisi oleh endapan-endapan terestris (Grup Pematang) hasil erosi bagian-bagian yang terangkat (Gambar 4.14 dan Gambar 4.15).
Gambar 4.14 Penampang seismik memperlihatkan bentuk rift basin (PERTAMINA & FIKTM ITB, 2005).
Gambar 4.15 Periode 50 – 29 Jtl, pembentukan cekungan ekstensi (rift basins) dengan diisi oleh endapan-endapan darat (Grup Pematang) (Heidrick & Aulia, 1996).

4.2.4        Episode Eosen-Oligosen (30 Ma)

 Sebagai kelanjutan dari tumbukan antara India dan Asia, Dewey dkk (1989) mengenali adanya dua wilayah dengan tektonik transpressional, yaitu (a) jalur wilayah dengan gerak sinistral di sebelah Barat, dan (b) jalur dengan gerak-gerak mendatar dekstral yang berada di Timur (Gambar 4.16). Tapponnier dkk (1982 & 1986) memperkenalkan model ekstrusi sebagai respon terhadap benturan India dengan Asia. Bongkah benua, termasuk Lempeng Sunda, mengalami ekstrusi ke tenggara sejauh hampir 1.000 km (Gambar 4.3). Tapponnier (1986) mengenali adanya dua fase ekstrusi:

1. Terjadi pada Eosen Tengah - Miosen Tengah, yang menggeser blok yang berada di bagian Selatan sesar Red-River (Gambar 4.3) dan
2. Terjadi pada Miosen Tengah - sekarang yang melibatkan bongkah benua Asia yang berada dibagian Utara dari sesar “Red-River”.
Gambar 4.16 Model tumbukan India dan Asia; menghasilkan rotasi dan timbulnya dua wilayah tektonik gerak mendatar (shear), wilayah dengan gerak mengiri dibagian timur dan menganan di bagian barat (coklat/garis arsir miring) (Dewey dkk., 1989).
Menurut Dewey dkk (1989) dan Hall (2002), setelah 30 jtl, India mulai membentur Asia dan menimbulkan gerak-gerak mendatar (strike-slip). Gerak-gerak melalui sesar-sesar mendatar tersebut sangat berperan dalam pembentukan cekungan di wilayah Asia Tenggara (Hall, 2002). Di Sumatera, gerakan sesar mendatar ini berlangsung melalui sesar-sesar mendatar menganan Sumatera dan Malaya. Meskipun waktu sesar tersebut mulai aktif tidak dapat dipastikan, tetapi dengan adanya data benturan India dengan Asia, dapat diperkirakan mulai aktif pada periode 30 jtl atau Eosen Akhir - Oligosen Awal. Sebagai akibat dari pasangan sesar mendatar tersebut, cekungan regangan yang mengawali pembentukan cekungan di Sumatera (timur), berubah sifatnya menjadi cekungan pull-apart, atau continental wrench basin menurut klasifikasi Kingston (1983) (Gambar 4.17).
Gambar 4.17 Gerak-gerak sesar mendatar di wilayah Asia Tenggara. Sepasang sesar mendatar yang memotong Pulau Sumatera, menyebabkan terbentuknya cekungan-cekungan pull-apart (Tapponier, 1982 ; Daly dkk, 1987)
Benturan India dengan Asia memunculkan pasangan sesar mendatar atau wrench fault atau strike-slip fault yang kemudian membentuk cekungan-cekungan pull-apart dengan pola umum utara–selatan. Meskipun masih terdapat perbedaan dalam penentuan umur benturan, karena kurangnya bukti-bukti, namun berdasarkan rekonstruksi terhadap bentuk, ukuran dan kecepatan pergerakan dari lempeng benua India, benturan langsung terjadi pada 29 jtl atau Oligosen.
Gambar 4.18 Tinggian dan rendahan yang terbentuk pada zona sesar mendatar.
Pasangan sesar mendatar tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk tinggian (highs) dan depresi (lows) (Gambar 4.18). Pada tahap awal, suatu cekungan pull-apart akan diisi oleh sedimentasi yang berupa endapan delta dan transisi, yang umumnya sangat potensial untuk membentuk batuan induk. Pada Gambar 4.19 diperlihatkan pada periode tersebut (± 30 jtl), diendapkan Brown Shale, Upper Red Beds hingga Formasi Menggala.
Gambar 4.19 Endapan yang terbentuk pada cekungan pull-apart (Heidrick & Aulia, 1993).

4.2.5        Episode 30 Ma – Sekarang

Sebagai kelanjutan tumbukan India dengan Asia, terjadi interaksi konvergen disertai subduksi Lempeng HIndia-Australia kebawah Lempeng Sunda yang diikuti oleh aktivitas magmatis yang diperkirakan sudah dimulai sejak Oligosen. Sebagai akibat pembentukan busur volkanik di bagian tepi baratdaya Pulau Sumatera, cekungan-cekungan yang berada dibelakang busur mengalami penurunan global secara terus menerus disertai gejala transgresi regional. Di Cekungan Sumatera Tengah gejala tersebut diikuti dengan pengendapan sedimen tebal Formasi Bangko – Formasi Telisa.

Bergesernya palung (batas lempeng) ke baratdaya secara berangsur hingga kedudukannya yang sekarang dengan arah konvergensi yang menyerong (mungkin disertai rotasi searah jarum jam) telah menyebabkan gerak menganan pada sesar Sumatera dan menimbulkan tegasan utama tektonik ke timurlaut (Gambar 4.20). Tegasan tersebut menimbulkan proses deformasi terakhir di Cekungan Sumatera Tengah dan mengubah sesar-sesar normal yang arahnya utara-selatan (sebagai batas cekungan Tersier) menjadi gerak-gerak mendatar, sedangkan sesar-sesar baratlaut-tenggara menjadi sesar-sesar naik dan lipatan.
Gambar 4.20 Kedudukan dan sifat pola tegasan yang bertanggungjawab terhadap deformasi di Sumatera secara umum dan di Sumatera Tengah khususnya.
Gambar 4.21 Penampang seismik yang memperlihatkan: (1) pola rekahan pada batuan dasar, dan (2) pola sesar yang memotong batuan dasar dan sedimen diatasnya (PERTAMINA & FIKTM ITB, 2005).
Gambar 4.21 dengan jelas memperlihatkan bentuk tektonik ekstensi pada batuan dasar yang merupakan awal pembentukan cekungan regangan (rift basin), yang kemudian mengalami pembalikan (inversi) pada deformasi berikutnya yang menimbulkan gejala perlipatan dan pola flower structure pada beberapa sesar yang dapat diikuti dari batuan dasar sebagai cerminan peubahan dari sesar normal berarah utara-selatan menjadi sesar mendatar.

Cekungan Sumatera Tengah didominasi oleh dua pola struktur yang berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara (Heidrick dan Aulia, 1993). Struktur yang berarah utara selatan relatif lebih tua terbentuk pada Paleogen (Mertosono dan Nayoan, 1974; de Coster, 1975 dalam Heidrick dan Aulia, 1993). Menurut Eubank dan Makki (1987) kedua pola struktur tersebut aktif selama Tersier. Heidrick dan Aulia (1993) membagi perkembangan tektonik pada Cekungan Sumatera Tengah menjadi empat episode yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu F0, F1, F2 dan F3 atau D0, D1, D2 dan D3 seperti terlihat pada Gambar 4.22.

4.2.5.1       Periode Deformasi F0 (Pratersier)

Deformasi F0 terjadi pada Pra-Tersier menghasilkan struktur-struktur berarah N600W ± 100 yang terkontrol oleh geometri dan batas mandala-mandala geologi yang menyusun batuan dasar (Pulunggono dan Cameron, 1984). Mandala-mandala geologi tersebut mengalami akresi pada akhir Trias (Pulunggono dan Cameron, 1984). Arah struktur yang berkembang pada F0 dicerminkan oleh sumbu tinggian dan rendahan zona sesar dan lipatan batuan dasar.

4.2.5.2       Periode Deformasi F1 (45 – 28 Ma)

Deformasi F1 yang terjadi pada Eosen – Oligosen mengawali perkembangan kerangka tektonik Tersier. Tahap ini sering disebut fasa ekstensi, dengan ciri struktur ekstensi berupa rifting yang berkembang sepanjang rekahan batuan dasar yang membentuk graben dan half graben. Heidrick dan Aulia (1993) membagi tiga pola struktur yang berkembang pada tahap F1 yaitu utara - selatan, utaratimurlaut-selatanbaratdaya dan baratlaut-tenggara. Pola utara-selatan merupakan pola yang paling dominan. Tegasan horizontal minimum yang berkembang pada periode ini berarah barat - timur.
Gambar 4.22. Evolusi tektonik Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993).

4.2.5.3       Periode Deformasi F2 (28 – 13Ma)

Episode F2 diawali oleh berhentinya proses pemekaran dilanjutkan dengan sagging dan fase transtensional. Fase transtensional merupakan periode perkembangan sesar mendatar menganan pada elemen-elemen struktur berarah utara - selatan yang terbentuk pada fase F1. Pada beberapa tempat elemen utara - selatan tersusun dalam pola en-echelon dengan arah stepover menganan dan mengiri. Deformasi yang terjadi pada elemen utara-selatan ini berupa simple shear dengan arah tegasan utama sekunder N470E (Heidrick dkk., 1993).

Pergerakan mendatar menganan pada elemen stepover menganan menghasilkan pola struktur transtensional berarah jurus N00E - N200E dan elemen stepover mengiri menghasilkan pola struktur transpresional dengan jurus N00W - N200W. Penampang seismik memperlihatkan bahwa struktur transtensional dan transpressional dicirikan oleh sesar normal, sesar naik dan lipatan berhubungan dengan flower structure negatif dan positif.

4.2.5.4       Periode Deformasi F3 (13 Ma – Resen)

Fase F2 diikuti oleh F3 pada Miosen Tengah sampai saat ini dan menghasilkan deformasi berupa sesar naik berarah baratbaratdaya-timurtimurlaut, sesar naik di sepanjang sesar mendatar sebelumnya berarah utarabaratlaut, lenturan yang membentuk monoklin ke arah selatanbaratdaya di sepanjang rekahan batuan dasar berarah N390E ± 3.50 (Mount dan Suppe, 1992 dalam Heidrick dan Aulia, 1993). Lipatan yang terbentuk pada F3 umumnya berarah sumbu N150 - 250W, hampir sejajar dengan restraining bend sesar-sesar mendatar utama yang berarah utara - selatan.

4.3         STRATIGRAFI REGIONAL

Eubank dan Makki (1981), Yarmanto dan Aulia (1988), serta Heidrick dan Aulia (1993) membagi unit stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah dari Paleogen - Pliosen dan Kuarter menjadi lima grup/formasi, yaitu: Formasi Pematang, Grup Sihapas, Formasi Telisa, Formasi Petani, dan Formasi Minas (aluvial) seperti yang terlihat pada Gambar 4.23. Heidrick dan Aulia (1993) membagi stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah menjadi batuan dasar Pra-Tersier, batuan sedimen Paleogen, batuan sedimen Neogen, dan endapan Plistosen.

4.3.1        Batuan dasar Pra-Tersier

Batuan-batuan dasar Pra-Tersier Sumatera Tengah tersusun oleh tiga mandala geologi yang berbeda (Eubank dan Makki, 1981), yaitu: Quartzite Terrain (Eubank dan Makki, 1981) disebut juga Lempeng Mikro Malaka (Pulunggono dan Cameron, 1984), Mutus Assemblage dan Greywacke Terrain (Eubank dan Makki, 1981) atau disebut juga Lempeng Mikro Mergui (Pulunggono dan Cameron, 1984). Menurut Pulunggono dan Cameron (1984) Lempeng Mikro Malaka tersusun oleh kuarsit, granit, batugamping yang berumur Paleozoikum. Lempeng Mikro Mergui tersusun oleh batuan berumur Permian – Karbon terdiri dari greywacke, kuarsit dan argillit, serta intrusi granit. Mutus Assemblage tersusun oleh argillit, serpih merah, tufa dan basalt serta sekis kloritik yang berumur Trias – Jura.

4.3.2        Batuan sedimen Paleogen

Pengendapan batuan Tersier di Cekungan Sumatera Tengah diawali oleh endapan non-marin Grup Pematang dalam cekungan berarah utara selatan yang terbentuk akibat rifting Eosen – Oligosen (Yarmanto dan Aulia, 1988) atau pada periode Deformasi F1 (Heidrick dan Aulia, 1993).
Gambar 4.23 Stratigrafi umum Cekungan Sumatera Tengah (dimodifikasi dari Heidrick dan  Aulia, 1993).
Mengacu kepada Heidrick dkk (1993), Grup Pematang tersusun oleh tiga formasi berturut-turut dari tua ke muda: Formasi Lower Red Beds, Formasi Brown Shale dan Formasi Upper Red Beds. Formasi Lower Red Beds disusun oleh fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, mudstone, dan serpih yang terbentuk pada lingkungan kipas aluvial, fluvio-deltaik, sampai danau. Di atas Formasi Lower Red Beds diendapkan Formasi Brown Shale yang tersusun oleh serpih lakustrin kaya kandungan bahan organik berselingan dengan batupasir halus. Selanjutnya di atas Formasi Brown Shale diendapkan Formasi Upper Red Beds yang tersusun oleh serpih, mudstone, batupasir, konglomerat dan batubara.

4.3.3        Batuan sedimen Neogen dan Kuarter 

Di atas Grup Pematang diendapkan suatu seri endapan transgresif yang termasuk ke dalam Grup Sihapas yang berkembang pada Miosen Awal (Gambar 13.5). Selanjutnya diendapkan Formasi Petani pada Miosen Tengah – Miosen Akhir pada kondisi regresif. Di atas Formasi Petani diendapkan Formasi Minas pada Plistosen. 

4.3.3.1       Grup Sihapas

Grup Sihapas terdiri atas Fomasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa. Formasi Menggala tersusun oleh sedimen batupasir konglomerat dan batupasir kasar sampai halus yang diendapkan pada lingkungan fluvio-deltaik (Heidrick dan Aulia, 1993). Secara selaras diatas Formasi Menggala diendapkan Formasi Bangko yang tersusun oleh serpih gampingan dan batugamping pada lingkungan intertidal (Heidrick dan Aulia, 1993) yang di beberapa tempat di bagian timur dan utara Cekungan Sumatera Tengah berkembang sebagai batulanau dan batupasir yang diendapkan pada lingkungan estuari. Selanjutnya diendapkan Formasi Bekasap yang dicirikan oleh perselingan batupasir, batulanau dan serpih serta sisipan gampingan dan batubara. Formasi Bekasap berkembang pada lingkungan tide dominated delta sampai brackish water. Di atas Formasi Bekasap diendapkan Formasi Duri pada lingkungan delta. Formasi Duri tersusun oleh perselingan batupasir halus sampai sedang dan serpih. Selanjutnya diendapkan Formasi Telisa yang tersusun oleh perselingan batulanau dan serpih yang diendapkan pada lingkungan neritik luar. Pada bagian barat Cekungan Sumatera Tengah Formasi Telisa menjemari dengan Formasi Duri.

4.3.3.2         Grup Petani dan Formasi Minas

Heidrick dkk (1996) membagi Grup Petani menjadi Petani Bawah, Petani Tengah dan Petani Atas berdasarkan keberadaan penanda regional lignit Petani A dan batugamping Petani B. secara umum Grup Petani terdiri dari serpih, batulempung, batulanau, batupasir dan lignit. Di atas Grup Petani diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan kipas aluvial pada kala Plistosen.

4.4         SISTEM PETROLEUM & PLAY REGIONAL

4.4.1        Batuan Induk

Endapan lakustrin fasies Brown Shale Formasi Pematang dikenali sebagai batuan induk untuk kehadiran minyak di Cekungan Sumatera Tengah. Dua fasies organik diidentifikasi pada fasies Brown Shale, yakni fasies algal-amorphous (tipe I dan I-II) dan  carbonaceous (tipe II dan III). Fasies algal-amorphous merupakan oil prone dan hadir pada bagian atas Brown Shale di daerah Tinggian Aman, Ranggau, Balam, dan Bengkalis.

Fasies karbonan Brown Shale merupakan fasies gas dan sedikit kondensat/minyak ringan. Fasies karbonan hadir di daerah Tinggian Aman, Ranggau, Balam, dan Ranggau. Kekayaan organik rata-rata contoh Brown Shale adalah 5% TOC, pada beberapa bagian mencapai 20%. Fasies karbonan tersusun atas vitrinit (material humus dan sisa tumbuhan). Kekayaaan organik berkisar antara 143% TOC. Kualitas organik diindikasikan oleh rendahnya rasio unsur karbon terhadap karbon yang kurang dari 0,85 dan indeks hidrogen dengan nilai kurang dari 300.

4.4.2        Batuan Reservoir

Batuan reservoir Cekungan Sumatera Tengah merupakan batuan sedimen post-rift. Grup Sihapas merupakan kelompok batuan reservoir utama Cekungan Sumatera Tengah. Grup Sihapas terdiri atas lima formasi batuan yakni Formasi Menggala, Bangko, Bekasap, Duri, dan Telisa (Gambar 4.23). Batupasir Formasi Menggala dan Bekasap merupakan reservoir minyak utama. Formasi Menggala umumnya terdiri atas endapan fluvial dengan sikuen menghalus ke atas.

Porositas formasi berkisar 25% dan permeabilitas 1.200 mD membuat formasi sangat ideal sebagai reservoir. Batupasir Formasi Menggala berkembang baik di bagian tengah Cekungan Sumatera Tengah, dengan arah baratlaut-tenggara dan ketebalan antara 15,24 – 274,32 m, dan menipis hingga ke batas cekungan. Kisaran produksi minyak dari reservoir ini adalah 1.000 BOPD yang dihitung dari 3,048 m (10 kaki) perforasi. Karakter log dari batupasir Formasi Menggala dapat dilihat pada Gambar 4.24.

Batupasir Formasi Bekasap Cekungan Sumatera Tengah memiliki porositas rata-rata yang sangat baik, yakni 27% dan permeabilitas sekitar 2.000 mD. Batupasir ini umumnya memiliki ketebalan 9,14 – 12,2 m yang berseling dengan batuserpih. Formasi Bekasap diinterpretrasikan sebagai endapan delta prograding, yang diendapkan dari Paparan Malaysia dan menerus ke arah barat hingga Pegunungan Barisan. Gambar 4.25 mengilustrasikan karakteristik log reservoir Formasi Bekasap. Grup Pematang dapat bertindak sebagai reservoir dengan tingkat porositas yang sangat rendah pada endapan-endapan syn-rift. Peta isopach endapan syn-rift di daerah Graben North Aman dapat dilihat pada Gambar 4.26.

Formasi Lower Red Bed terdiri dari sikuen menghalus ke atas dari endapan meandering bar dan endapan floodplain. Batupasir ini memiliki kualitas porositas dan permeabilitas yang rendah, yakni 15% dan 200-400 mD. Beberapa bagian umumnya hanya terdiri dari  15-20%  prosentase pasir efektif.

Formasi Lower Red Bed terdiri atas sikuen menghalus ke atas dari endapan meandering bar dan endapan flood plain. Batupasir ini memiliki kualitas porositas dan permeabilitas yang rendah, yakni 15% dan 200400 mD. Beberapa bagian umumnya hanya terdiri dari 1520% persentase pasir efektif.

Reservoir pada interval Brown Shale terdiri dari endapan pasir turbidit dan distal fan. Fasies reservoir umumnya terdiri dari batupasir sangat halus deengan interkalasi batulanau, dan memiliki kualitas porositas sedang-buruk. Reservoir pada interval Upper Red Bed memiliki karakteristik ketebalan yang beragam, amalgamated low sinuosity, terdiri dari batupasir endapan sungai dan sungai teranyam (braided), dan berlapis dengan horison paleosol. Formasi ini memiliki karakteristik reservoir yang baik dengan nilai rata-rata persentase pasir sebesar 35%, beberapa sumur mencapai 60% gross batupasir, porositas 20% dan rata-rata permeabilitas sebesar 800 mD. 
Gambar 4.24 Karakteristik log dari batupasir formasi Manggala (Pertamina  BPPKA, 1996).
Gambar 4.25 Karakteristik log dari lapisan reservoir pada formasi Bekasap (Pertamina BPPKA, 1996).
Gambar 4.26 Peta Isopach dan Lingkungan pengendapan dari endapan Syn-Rift pada graben North Aman (Pertamina BPPKA, 1996).

4.4.3       Perangkap

Rangkaian episode struktur Cekungan Sumatera Tengah terbagi menjadi grup genetik F1, F2 dan F3. Lapangan minyak terbesar berasosiasi dengan episode struktur inversi dan transpresional pergerakan genetik F3, seperti yang telah di dokumentasikan di Lapangan Minas dan Duri (Gambar 4.28 dan Gambar 4.29). Lapangan minyak lain, seperti lapangan Bangko, Petani, Pematang dan Zamrud juga berhubungan dengan struktur inversi regional berarah utara-selatan (Gambar 4.30, Gambar 4.31 dan Gambar 4.32). Struktur transpresional atau positive flower structure yang menjadi perangkap sepanjang lekukan baratlaut patahan regional utara-selatan dapat teramati pada lapangan Pusaka, Pedada, Mengkapan, dan Butun.

Struktur-struktur transtensional dan transpresional berskala kecil searah patahan utara-selatan (wrench fault) dapat diamati pada lapangan-lapangan minyak berukuran kecil dengan recoverable reserve sebesar 520 MMBO. Tipe struktur transpressional dapat dijumpai di bagian barat cekungan ini, seperti Lapangan Jingga, Kelabu, dan Hitam. Perangkap transtensional umumnya hadir di bagian paparan tepi pantai, diantaranya Lapangan Pungut yang juga hadir dalam bentuk perangkap dari antiklin rollover.

Perangkap stratigrafi tidak secara luas dijumpai pada Cekungan Sumatera Tengah dan umumnya memiliki play dengan resiko tinggi. Formasi Bangko terdiri dari lapisan batupasir dan shale. Batupasir pada formasi ini umumnya karbonatan dan mengandung glaukonit.  

Gambar 4.27 Karakter Log dari lapisan reservoir batupasir Formasi Upper Red Bed. (Pertamina BPPKA, 1996).
Gambar 4.28 Model perangkap untuk Lapangan Minas (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.29 Model perangkap untuk Lapangan Duri (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.30 Model perangkap untuk Lapangan Petani (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.30 Model perangkap untuk Lapangan Petani (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.31 Model perangkap untuk Lapangan Pematang (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.32 Model perangkap untuk Lapangan Zamrud (PERTAMINA-BPPKA, 1996).

4.4.4        Batuan Penyekat

Lapisan serpih pada sikuen syn-rift dapat juga bertindak sebagai top seal bagi reservoir di bagian syn-rift.

Gambar 4.33 Ringkasan Sistem Petroleum di Cekungan Sumatera Tengah (PERTAMINA-BPPKA, 1996).

4.5        KONSEP PLAY REGIONAL

Gambar 4.34 Ringkasan Play Concept pada beberapa formasi reservoir di Cekungan Sumatera Tengah (Beicip, 1992).

DAFTAR PUSTAKA 

Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff The Hague.
Buchanan, P.G., McClay, K., 1991, Sandbox Experiments Of Inverted Listric and Planar Fault Systems, Tectonophysics, v. 188.
Cameron, N.R., Clarke, M.G., Aldiss, D.T., Apsden, J.A., Djunuddin, A., 1980, The Geological Evolution of Northern Sumatera.
Charles, M.G.A., Ballantyne, P.D., Hall, R., 1988, Mesozoic-Cenozoic Rift- Drift Sequence of Asian Fragments from Gondwanaland, Tectonophysics.
Christiansen, A.F.; 1983, An Example of a major Syndepositional Listric Fault; in Bally, A.W., Seismic Expression of Structural Styles, AAPG studies in Geology.
Dahlen, F.A., Suppe, J., Davis,D., 1984, Mechanics of Fold–and-Thrust Belts and Accretionary Wedges: Cohesive Coulomb Theory; Journal of Geophysical Research, V.89, no. B12.
Daly M.C., Cooper,M.A., Wilson J., Smith,D.G., Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic Plate Tectonics and Basin Evolution in Indonesia, Marine And Petroleum Geology.
Davis, G., Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John Willey and Sons Inc., New York.
de Coster, G. G., 1974, The Geology of the Central and South Sumatera Basins. Indonesian Petroleum Association, Proceedings of the 3rd Annual Convention, Jakarta, 1974.
Dewey, J. F., Cande, S. & Pitmann, W. C. III. 1989. Tectonic evolution of the India/Eurasia collision zone. Eclogae geologicae Helvetii.
Ellis, P., McClay, K., 1988, Listric Extensional Fault Systems - Results of Analogue Model Experiments, Basin Research, v.1, hal. 55-70.
Eubank, R.T., Makki, A.C., 1981, Structural Geology of the Central Sumatera Back-arc Basin, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceeding.
Hall, R., 1996, Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R. dan Blundell, D. J., 1996, Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London, Special Publication 106, pp.153-184.
Hall, R. 2002, Cenozoic Geological And Plate Tectonic Evolution Of SE Asia And The SW Pacific: Computer Based Reconstructions, Model And Animations, Journal of Asian Earth Sciences.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, U.S. Geological Survey Professional Paper, No. 1078, 345p.
Heidrick, T.L. dan Aulia, K., 1993, A Structural and Tectonic Model of the Coastal Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 22nd Annual Convention Proceeding.
Hutchinson, C. S., 1989, Geological evolution of South-East Asia; Oxford Monographs on Geology and Geophysics No. 13, Oxford Sci. Pub.
Koning,T., Darmono, F.X., 1984,The Geology of The Beruk Northeast Field, Central Sumatera,Oil Production from Pre-Tertiary Basement Rock, Indonesian Pet. Assoc., 13th Annual Convention Proceeding.
Mertosono, S., Nayoan, G.A.S., 1974, The Tertiary Basin Area of Central Sumatra, Indonesian Pet. Assoc., 3th Annual Convention Proceeding, hal.63-76.
McCourt, W.J., Crow, M.J. Cobbing, E.J. & Amin, T.C., 1996, Mesozoic and Cenozoic Plutonic Evolution of SE Asia: Evidence from Sumatera, Indonesia. In: R. Hall dan D.J. Blundell, (eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London, Special Publication 106, 321-335.
Metcalfe, I., 1988. Origin and Assembly of Southeast Asian Continental Terranes. In: M.G. Audley-Charles & A. Hallam (eds), Gondwana and Thetys, Geological Society of London, Special Publication 37, 101-118.
Metcalfe, I. 1989, Triassic conodonts of Sumatera. In: H. Fontaine and S.Gafoer (eds), The Pre-Tertiary fossils of Sumatera and their environments, CCOP Technical Papers.
Packham, G., 1996, Cenozoic SE Asia: Reconstructing its Aggregation and Reorganization, Tectonic Evolution of Southeast Asia In: R. Hall dan D.J. Blundell, (eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London, Special Publication 106, 321-335.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Central Sumatera Basin, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, PERTAMINA, Jakarta.
PERTAMINA BPPKA, 1996, Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods and Application, Vol II: Central Sumatera Basins.
PERTAMINA dan FIKTM ITB, 2002, Hydrocarbon Potential Study ff Indonesia Basin, Pertamina, unpublished.
Petroconsultants, 1996, Petroleum exploration and production database: Houston,Texas, Petroconsultants, Inc.
Pulunggono, A. & Cameron, N.R. 1984. Sumateran Microplates, Their Characteristics and Their Role in The Evolution of The Central and South Sumatera Basins. Indonesian Pet. Assoc., 13th Annual Convention Proceeding.
Tapponnier, P., Peltzer, G. & Armijo, R. 1986. On the Mechanics Between the Collision of India and Asia. In: M. P. Coward & A. C. Ries, (eds) Collision Tectonics, Geological Society of London, Special Publication, 19, 1154–1157.
Wakita, K dan Metcalfe, I, 2005, Ocean Plate Stratigraphy in East and Southeast Asia, Journal of Asian Earth Sciences Vol.24.
Withjack, M., Jamison, W., 1986, Deformation Produced by Oblique Rifting, Tectonophysics, v. 126.
Yarmanto, Heidrick, T.L. Indrawardana & Strong, B.L. 1995. Tertiary Tectonostratigraphic Development of the Balam Depocenter, Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 24th Annual Convention Proceeding.


















RIFT BASIN



No comments:

Post a Comment

Cekungan Mentawai #7

7.1        REGIONAL      7.1.1         Geometri Cekungan           Cekungan Mentawai merupakan cekungan busur depan ( Paleogene - Neoge...