4.1
REGIONAL
4.1.1
Geometri Cekungan
Cekungan
Sumatera Tengah memiliki luas sekitar 103.500 km2, yang sebagian
besar terdiri dari area berupa daratan (Gambar
4.1). Secara geografis cekungan ini terletak antara 900 - 1030
BT dan 10 LS - 40 LU. Pada bagian utara, Cekuingan Sumatera Tengah
dipisahkan dari Cekungan Sumatera Utara oleh Tinggian Asahan, sedangkan di
bagian selatannya dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan oleh Pegunungan Tigapuluh.
Gambar 4.1 Peta lokasi Cekungan Sumatera Tengah.
4.1.2 Sejarah Eksplorasi
Eksplorasi
paling awal yang pernah dilakukan di Cekungan Sumatera Tengah dipandu oleh penemuan rembesan
minyak pada struktur antiklin yang kemudian memicu penemuan Lapangan
Minyak Kampung pada tahun 1896 (Macgregor, 1995). Lapangan minyak ini
dilaporkan memiliki cadangan sebesar 31,3 MMBOE, berada pada endapan delta Formasi
Muara Enim berumur Pliosen (Zeliff dkk., 1985). Beberapa struktur antiklin yang
teridentifikasi di permukaan telah dipetakan pada cekungan ini. Secara umum,
struktur antiklin yang berkembang di daerah ini memiliki kecenderungan berarah
baratlaut-tenggara, perlipatan semakin intensif di
utara dibandingkan selatan (van Bemmelen, 1949). Hingga 1921, target eksplorasi Cekungan Sumatera
Tengah ditujukan pada batupasir Formasi Air Benakat dan penetrasi target
terdalam adalah pada Formasi Gumai (Zeliff dkk., 1985).
Tahun
1921 Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM), perusahaan yang
dibentuk oleh Standard of New Jersey
(SONJ), menemukan Lapangan Minyak Pendopo/Talang Akar (Zeliff dkk., 1985).
Penemuan minyak pada batupasir Formasi Talang Akar merupakan penemuan lapangan
minyak terbesar di selatan Pulau Sumatera dengan perkiraan cadangan sebesar 360
MMBOE (Zeliff
dkk,, 1985). Perhitungan cadangan pada tahun 1996 menunjukan bahwa cadangan
minyak di Cekungan Sumatera Tengah telah meningkat sebesar 15%
(Petroconsultants, 1996).
Tahun
1968, PT.CPI (Caltex Pacific Indonesia) melakukan 270 pemboran sumur wildcat di Cekungan Sumatera Tengah, 107
diantaranya ditemukan minyak dan gas, dan mendeliniasi 98 lapangan minyak baru.
Kegiatan eksplorasi PT.CPI berlangsung gencar dari tahun 1970-an hingga
1980-an, meliputi kegiatan akuisisi seismik dan pemboran wildcat. Operator-operator lain yang beroperasi di Cekungan Sumatera
Tengah antara lain, Royal Dutch Shell, Stanvac, Pan American Oil (Amoco), Union
Oil, Arco, Mobil, Amoco, Conoco dan Total.
Pada Cekungan Sumatera Tengah, minyak
diproduksi dari reservoir post rift
berumur Miosen Awal dari Grup
Sihapas. Sebagian kecil produksi dihasilkan dari reservoir klastik Grup Pematang (endapan syn-rift). Karakter spesifik Cekungan Sumatera Tengah adalah
ketidakhadiran reservoir karbonat, seperti di Cekungan Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Jawa Timur Utara.
4.2 TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL
Pulau
Sumatera merupakan bagian Daratan Sunda terletak dibagian tepi tenggara yang
merupakan perluasan Lempeng Benua Asia. Daratan Sunda ditafsirkan oleh
Pulunggono dan Cameron (1984) dan Suparka (1995) sebagai hasil penyatuan
berbagai unsur kerak, sebagian berasal dari selatan, yang terjadi melalui
benturan antara lempeng-lempeng litosfir dan busur kepulauan (Gambar 4.2). Metcalfe (1988)
menafsirkan semua wilayah timur dan tenggara Lempeng Benua Asia berasal dari
tepi Benua Gondwana. Menjelang Mesozoikum, suatu wilayah yang terdiri dari lempeng-lempeng
yang berasal dari Gondwana tersebut membentuk “inti” Daratan Sunda, yang
dikelilingi oleh jalur-jalur subduksi.
Gambar 4.2 Sebaran Daratan Sunda yang merupakan
perluasan ke tenggara Benua Asia.
Gambar 4.3 Mekanisme tektonik ekstrusi Asia Tenggara
(Tapponnier, 1986)
Kelompok
batuan dengan ciri-ciri produk busur volkanik dapat dijumpai di sepanjang Pulau Sumatera, batuan ini
ditafsirkan sebagai akibat terjadinya interaksi konvergen yang disertai
subduksi Lempeng Asia sejak Permian (Katili, 1973 dan Katili, 1975). (1) interaksi
konvergen yang disertai subduksi antara Lempeng Samudra Hindia-Australia dengan
Lempeng Benua Eurasia, (2) benturan antara fragmen Lempeng Benua Hindia yang
bergerak ke utara dengan Asia, dan (3) interaksi konvergen antara Lempeng
Pasifik di timur yang bergerak ke barat dengan Lempeng Asia (Hall dan Blundell,
1996). Benturan antara Hindia dan Asia mengakibatkan terjadinya rotasi dan
ekstrusi pecahan tepi timur Benua Asia ke arah tenggara melalui sesar-sesar
mendatar, yang kemudian menjadi tipe mekanisme untuk deformasi wilayah
Daratan Sunda (Tapponnier dkk., 1986) (Gambar 4.3).
Packham
(2006) membagi gerak-gerak tektonik di wilayah Asia Tenggara kedalam tiga fase:
(1)
Eosen hingga Oligosen,
(2)
Oligosen hingga Miosen Tengah dan,
(3)
Miosen Tengah hingga sekarang.
Daerah
penelitian termasuk kedalam wilayah Cekungan Sumatera Tengah yang merupakan
salah satu dari tiga cekungan penghasil minyak di Sumatera bagian timur yang
berkembang sebagai cekungan-cekungan sedimentasi dibelakang busur volkanik. Geologi
dan perkembangan tektonik wilayah ini telah banyak diteliti.
Namun tulisan-tulisan
yang umum berkembang cenderung mengungkapkan masalah-masalah dan informasi yang
berkaitan dengan batuan sedimen yang mengisinya dan hanya sedikit sekali yang
membahas mengenai perkembangan tektonik terutama yang berkaitan dengan cara
pembentukan cekungan, proses deformasi yang mengubah sifat cekungan secara
global, dan sifat-sifat batuan dasarnya. Struktur awal batuan dasar suatu
cekungan akan menjadi faktor penting dalam perkembangan tektonik selanjutnya.
Hal ini akan menentukan ukuran, arah dan sebaran daripada bentuk-bentuk
tinggian (highs) dan dan rendahan (lows) yang akan berperan mengatur dan
mempengaruhi proses sedimentasi dalam cekungan (Gambar 4.4, Gambar 4.5 dan
Gambar 4.6).
Gambar 4.4 Struktur batuan dasar di Sumatera Selatan menentukan
bentuk, arah dan ukuran daripada cekungan-cekungan di Sumatera Selatan (Pertamina-BEICIP,
1992).
Gambar 4.5 Pola struktur batuan dasar Cekungan Sumatera
Tengah (Pertamina dan BPPKA, 1996).
Gambar 4.6 Penampang seismik NE-SW dan B-B’ pada
cekungan Sumatera Tengah, indeks penampang seismik dapat dilihat pada gambar 5
(Pertamina-BEICIP, 1992).
Pada
umumnya, sebaran dan komposisi litologi batuan dasar kurang mendapatkan
perhatian dalam penelitian sebuah cekungan yang disebabkan oleh kurangnya data
bawah permukaan. Komposisi litologi batuan dasar ternyata sangat berperan dalam
menentukan potensi hidrokarbon suatu cekungan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa cekungan-cekungan yang didasari oleh batuan dasar yang berasal dari kerak
benua (granitis) akan memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan dengan
yang didasari oleh kerak samudra (basaltis). Komposisi tersebut akan menentukan
susunan batuan sedimen diatasnya terutama terhadap sifat batuan reservoirnya.
Struktur pada batuan dasar sebagai produk daripada deformasi, yang berlangsung
baik selama maupun setelah pembentukannya, juga memungkinkan terbentuknya sifat
fisik yang dapat mengubahnya sebagai batuan reservoir yang potensial.
Pembahasan
perkembangan tektonik regional Cekungan Sumatera Tengah akan dimulai dari jaman
Pra-Tersier dengan tujuan untuk mengungkap sifat-sifat dari batuan dasar yang
melandasi cekungan, dan proses awal pembentukan dari cekungan.
4.2.1
Episode Jura Akhir – Awal Kapur (165 Ma – 120 Ma)
Pembentukan
Lempeng Mikro Sunda. Daratan Sunda diindikasikan terdiri dari unsur-unsur
yang berasal dari Eurasia yang menyatu dengan lempengan-lempengan yang
merupakan pecahan Gondwana di selatan yang bergeser ke utara sebagai akibat
pemisahan disekitar Benua Australia. Daratan Sunda mulai “lengkap” terbentuk
setelah secara bertahap fragmen-fragmen Gondwana tersebut menyatu dengan
Eurasia yang ada di utara melalui pembentukan jalur-jalur sutura sejak Paleozoikum
Akhir hingga Mesozoikum Akhir (Wakita dan Metcalfe, 1988) (Gambar 4.7).
Gambar 4.7 Rekonstruksi Jura akhir sampai Kapur Awal (Wakita
dan Metcalfe, 2005).
Salah
satu jalur sutura adalah jalur Raub-Bentong yang membentang utara-selatan mulai
dari Semenanjung Malaya di utara, dan ditafsirkan berlanjut ke Sumatera di selatan.
Meskipun hal ini masih diperdebatkan, sebagian besar peneliti dapat menerima
pendapat mengenai keberadaannya di Sumatera (Hamilton 1979; Pulunggono dan
Cameron, 1984) (Gambar 4.8). Keberadaan jalur sutura sebagai bagian dari
tatanan geologi Pulau Sumatera mempunyai peranan yang penting, selain sebagai
unsur satuan tektonik yang mempengaruhi pola struktur batuan dasar, juga sifat
fisik dan petrologinya ternyata turut menentukan potensi hidrokarbon cekungan
yang berada diatasnya. Di Cekungan Sumatera Tengah jalur ini dapat dikenali
dari data beberapa pemboran dalam, dan dikenal sebagai jalur atau Komplek Mutus
(Gambar 4.9).
Gambar 4.8 Jalur sutura yang diajukan oleh beberapa
peneliti (Metcalfe, 1988).
Gambar 4.9 Sebaran jalur sutura atau Komplek Mutus di
Cekungan Sumatera Tengah (Pulunggono dan Cameron, 1984).
Kompleks
Mutus yang tersingkap di Semenanjung Malaya, dianggap sebagai batas tektonik
antara mandala Sibumasu dan Indo-China/Malaya Timur. Jalur tersebut terdiri
dari batuan melange, batuan sedimen
laut (termasuk rijang berlapis), sekis, dan kepingan-kepingan berbentuk lonjong
yang terpisah-pisah dari batuan ofiolit yang terserpentinkan (Tjia, 1987 dan Hutchinson, 1989) (Gambar 4.8). Berdasarkan komposisi dan sifat-sifat batuannya,
jalur sutura tersebut diindikasikan sebagai jalur benturan antara dua kepingan
lempeng litosfir (Metcalfe, 1989). Berdasarkan data umur batuan yang diperoleh
dari batuan beku granit yang menyertai benturan tersebut, proses benturan ini
berlangsung pada jaman Permian atau Trias.
Gambar 4.10 Sebaran mandala-mandala tektonik dan
jalur-jalur sutura di Wilayah Asia Tenggara, Tengah dan Timur (11:
Raub-Bentong).
Apabila
dua lempeng saling berbenturan, seperti antara Sibumasu dan Malaya Timur, maka
reaksi yang akan timbul adalah gaya tarikan dengan arah berlawanan terhadap
arah benturan. Disamping rekahan-rekahan kompresi yang terbentuk,
rekahan-rekahan ekstensional juga terbentuk dengan arah sejajar jalur sutua,
atau dalam kedudukannya sekarang ini adalah arah utara-selatan. Arah inilah
yang kemudian mendominasi di Cekungan Sumatera Tengah dan menentukan bentuk
serta arah-arah cekungan khususnya di Sumatera Tengah (Gambar 4.10, dan Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Penyebaran struktur pada jalur sutura.
4.2.2 Episode Kapur Akhir (120-75 Ma)
Diperkirakan
pada periode ini terjadi peubahan arah subduksi yang terjadi pada tepi Benua
Asia dari high angle menjadi miring
atau oblique yang berkaitan dengan peubahan
pola pusat pemekaran samudra. Beberapa bagian lempeng benua, mulai menyatu
dengan Daratan Sunda. Hal ini ditandai pula dengan terhentinya kegiatan magma
pada kisaran waktu 75-60 jtl, yang ditafsirkan sebagai akibat deformasi yang
terjadi pada Kapur Akhir (Coster, 1974; Hamilton 1979; Pulungono & Cameron,
1984) (Gambar 4.12).
Gambar 4.12 Rekonstruksi Kapur Awal sampai Eosen Tengah (Wakita
dan Metcalfe, 2005).
4.2.3 Episode Awal Eosen (60 – 50 Ma)
Subduksi
yang baru, dimulai lagi di bagian tepi benua Daratan Sunda sesudah terjadinya
gejala deformasi. Subduksi yang berlangsung singkat kemudian terhenti setelah
India mulai bersentuhan dengan Benua Asia pada 50 jtl, dan fragmen Woyla
bertumbukan dengan Sumatera atau tepi Daratan Sunda (Court dkk., 1996) (Gambar 4.13). Terhentinya kegiatan magma Kapur Akhir ini diikuti dengan
pengangkatan global di Sumatera, yang juga merupakan awal dari tektonik
ekstensional.
Gambar 4.13 Posisi Tektonik Cekungan Sumatera Tengah pada
Eosen Awal (Kingston dkk., 1983).
Gambar 4.13.
Perkiraan kedudukan tektonik
Pulau Sumatera sebelum terjadinya tumbukan antara India dengan Asia pada Eosen;
jalur sutura menjadi pemisah antara Sibumasu dan Malaya Timur (McCourt dkk.,
1996).
Tumbukan India dengan Asia, oleh sebagian
ahli tektonik Asia, dianggap sebagai penyebab terjadinya tektonik ekstensi
serta permulaan pembentukan cekungan-cekungan ekstensi (rift basins) di wilayah Asia Tenggara
(Daratan Sunda), meskipun waktu tepat pembentukannya belum dapat ditentukan,
namun pada periode inilah diperkirakan saat dimulainya pembentukan
cekungan-cekungan di wilayah Asia Tenggara. Cekungan-cekungan ekstensional (rift
basins) dengan arah mengikuti pola sesar pada batuan dasar (sejajar dengan
Sutura Bentong-Raub) kemudian diisi oleh endapan-endapan terestris (Grup Pematang) hasil erosi bagian-bagian yang
terangkat (Gambar 4.14 dan Gambar 4.15).
Gambar 4.14 Penampang seismik memperlihatkan bentuk rift basin (PERTAMINA & FIKTM ITB,
2005).
Gambar 4.15 Periode 50 – 29 Jtl, pembentukan cekungan
ekstensi (rift basins) dengan diisi oleh
endapan-endapan darat (Grup Pematang) (Heidrick & Aulia, 1996).
4.2.4 Episode Eosen-Oligosen (30 Ma)
Sebagai
kelanjutan dari tumbukan antara India dan Asia, Dewey dkk (1989) mengenali
adanya dua wilayah dengan tektonik transpressional, yaitu (a) jalur wilayah
dengan gerak sinistral di sebelah Barat, dan (b) jalur dengan gerak-gerak
mendatar dekstral yang berada di Timur (Gambar
4.16). Tapponnier dkk (1982 & 1986) memperkenalkan model ekstrusi
sebagai respon terhadap benturan India dengan Asia. Bongkah benua, termasuk Lempeng
Sunda, mengalami ekstrusi ke tenggara sejauh hampir 1.000 km (Gambar 4.3). Tapponnier (1986) mengenali adanya dua fase ekstrusi:
1. Terjadi pada Eosen Tengah
- Miosen Tengah, yang menggeser blok yang berada di bagian Selatan sesar Red-River
(Gambar 4.3) dan
2. Terjadi pada Miosen
Tengah - sekarang yang melibatkan bongkah benua Asia yang berada dibagian Utara
dari sesar “Red-River”.
Gambar 4.16 Model tumbukan India dan Asia; menghasilkan
rotasi dan timbulnya dua wilayah tektonik gerak mendatar (shear), wilayah dengan gerak mengiri dibagian timur dan menganan di
bagian barat (coklat/garis arsir miring) (Dewey dkk., 1989).
Menurut
Dewey dkk (1989) dan Hall (2002), setelah 30 jtl, India mulai membentur
Asia dan menimbulkan gerak-gerak mendatar (strike-slip).
Gerak-gerak melalui sesar-sesar mendatar tersebut sangat berperan dalam
pembentukan cekungan di wilayah Asia Tenggara (Hall, 2002). Di Sumatera, gerakan
sesar mendatar ini berlangsung melalui sesar-sesar mendatar menganan Sumatera
dan Malaya. Meskipun waktu sesar tersebut mulai aktif tidak dapat dipastikan, tetapi
dengan adanya data benturan India dengan Asia, dapat diperkirakan mulai aktif pada
periode 30 jtl atau Eosen Akhir - Oligosen Awal. Sebagai akibat dari
pasangan sesar mendatar tersebut, cekungan regangan yang mengawali pembentukan
cekungan di Sumatera (timur), berubah sifatnya menjadi cekungan pull-apart, atau continental wrench basin menurut klasifikasi Kingston (1983) (Gambar 4.17).
Gambar 4.17 Gerak-gerak sesar mendatar di wilayah Asia Tenggara.
Sepasang sesar mendatar yang memotong Pulau Sumatera, menyebabkan terbentuknya
cekungan-cekungan pull-apart (Tapponier,
1982 ; Daly dkk, 1987)
Benturan
India dengan Asia memunculkan pasangan sesar mendatar atau wrench fault atau strike-slip
fault yang kemudian membentuk cekungan-cekungan pull-apart dengan pola umum utara–selatan. Meskipun masih terdapat
perbedaan dalam penentuan umur benturan, karena kurangnya bukti-bukti, namun
berdasarkan rekonstruksi terhadap bentuk, ukuran dan kecepatan pergerakan dari
lempeng benua India, benturan langsung terjadi pada 29 jtl atau Oligosen.
Gambar 4.18 Tinggian dan rendahan yang terbentuk pada
zona sesar mendatar.
Pasangan
sesar mendatar tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk tinggian (highs) dan depresi (lows) (Gambar 4.18).
Pada tahap awal, suatu cekungan pull-apart
akan diisi oleh sedimentasi yang berupa endapan delta dan transisi, yang
umumnya sangat potensial untuk membentuk batuan induk. Pada Gambar 4.19 diperlihatkan pada periode
tersebut (± 30 jtl), diendapkan Brown
Shale, Upper Red Beds hingga Formasi
Menggala.
Gambar 4.19 Endapan yang terbentuk pada cekungan pull-apart (Heidrick & Aulia, 1993).
4.2.5 Episode 30 Ma – Sekarang
Sebagai kelanjutan tumbukan India dengan Asia, terjadi interaksi
konvergen disertai subduksi Lempeng HIndia-Australia kebawah
Lempeng Sunda yang diikuti oleh aktivitas magmatis yang diperkirakan sudah
dimulai sejak Oligosen. Sebagai akibat pembentukan busur volkanik di bagian
tepi baratdaya Pulau Sumatera, cekungan-cekungan yang berada dibelakang busur
mengalami penurunan global secara terus menerus disertai gejala transgresi
regional. Di Cekungan Sumatera Tengah gejala tersebut diikuti dengan
pengendapan sedimen tebal Formasi Bangko – Formasi Telisa.
Bergesernya palung (batas lempeng) ke baratdaya
secara berangsur hingga kedudukannya yang sekarang dengan arah konvergensi yang menyerong (mungkin
disertai rotasi searah jarum jam) telah menyebabkan
gerak menganan pada sesar Sumatera dan menimbulkan tegasan utama tektonik ke timurlaut (Gambar 4.20). Tegasan tersebut menimbulkan
proses deformasi terakhir di Cekungan Sumatera Tengah dan mengubah sesar-sesar normal yang arahnya
utara-selatan (sebagai batas cekungan Tersier)
menjadi gerak-gerak mendatar, sedangkan sesar-sesar baratlaut-tenggara
menjadi sesar-sesar naik dan lipatan.
Gambar 4.20 Kedudukan dan
sifat pola tegasan yang bertanggungjawab terhadap deformasi di Sumatera secara
umum dan di Sumatera Tengah khususnya.
Gambar 4.21 Penampang seismik yang memperlihatkan: (1)
pola rekahan pada batuan dasar, dan (2) pola sesar yang memotong batuan dasar
dan sedimen diatasnya (PERTAMINA & FIKTM ITB, 2005).
Gambar 4.21 dengan jelas memperlihatkan
bentuk tektonik ekstensi pada batuan dasar yang merupakan awal pembentukan
cekungan regangan (rift basin), yang
kemudian mengalami pembalikan (inversi) pada deformasi berikutnya yang
menimbulkan gejala perlipatan dan pola flower
structure pada beberapa sesar yang dapat diikuti dari batuan dasar sebagai
cerminan peubahan dari sesar normal berarah utara-selatan menjadi sesar
mendatar.
Cekungan
Sumatera Tengah didominasi oleh dua pola struktur yang berarah utara-selatan
dan baratlaut-tenggara (Heidrick dan Aulia, 1993). Struktur yang berarah utara
selatan relatif lebih tua terbentuk pada Paleogen (Mertosono dan Nayoan, 1974;
de Coster, 1975 dalam Heidrick dan Aulia, 1993). Menurut Eubank dan Makki
(1987) kedua pola struktur tersebut aktif selama Tersier. Heidrick dan Aulia
(1993) membagi perkembangan tektonik pada Cekungan Sumatera Tengah menjadi
empat episode yang dapat dibedakan dengan jelas yaitu F0, F1, F2 dan F3 atau
D0, D1, D2 dan D3 seperti terlihat pada Gambar
4.22.
4.2.5.1 Periode Deformasi F0 (Pratersier)
Deformasi
F0 terjadi pada Pra-Tersier menghasilkan struktur-struktur berarah N600W
± 100 yang terkontrol oleh geometri dan batas mandala-mandala
geologi yang menyusun batuan dasar (Pulunggono dan Cameron, 1984).
Mandala-mandala geologi tersebut mengalami akresi pada akhir Trias (Pulunggono
dan Cameron, 1984). Arah struktur yang berkembang pada F0 dicerminkan oleh
sumbu tinggian dan rendahan zona sesar dan lipatan batuan dasar.
4.2.5.2 Periode Deformasi F1 (45 – 28 Ma)
Deformasi
F1 yang terjadi pada Eosen – Oligosen mengawali perkembangan kerangka tektonik
Tersier. Tahap ini sering disebut fasa ekstensi, dengan ciri struktur ekstensi
berupa rifting yang berkembang
sepanjang rekahan batuan dasar yang membentuk graben dan half graben.
Heidrick dan Aulia (1993) membagi tiga pola struktur yang berkembang pada tahap
F1 yaitu utara - selatan, utaratimurlaut-selatanbaratdaya dan
baratlaut-tenggara. Pola utara-selatan merupakan pola yang paling dominan.
Tegasan horizontal minimum yang berkembang pada periode ini berarah barat -
timur.
Gambar 4.22. Evolusi tektonik Cekungan Sumatera Tengah
(Heidrick dan Aulia, 1993).
4.2.5.3 Periode Deformasi F2 (28 – 13Ma)
Episode
F2 diawali oleh berhentinya proses pemekaran dilanjutkan dengan sagging dan fase transtensional. Fase transtensional
merupakan periode perkembangan sesar mendatar menganan pada elemen-elemen
struktur berarah utara - selatan yang terbentuk pada fase F1. Pada beberapa
tempat elemen utara - selatan tersusun dalam pola en-echelon dengan arah stepover
menganan dan mengiri. Deformasi yang terjadi pada elemen utara-selatan ini
berupa simple shear dengan arah
tegasan utama sekunder N470E (Heidrick dkk., 1993).
Pergerakan
mendatar menganan pada elemen stepover
menganan menghasilkan pola struktur transtensional berarah jurus N00E
- N200E dan elemen stepover
mengiri menghasilkan pola struktur transpresional dengan jurus N00W
- N200W. Penampang seismik memperlihatkan bahwa struktur
transtensional dan transpressional dicirikan oleh sesar normal, sesar naik dan
lipatan berhubungan dengan flower
structure negatif dan positif.
4.2.5.4 Periode Deformasi F3 (13 Ma – Resen)
Fase
F2 diikuti oleh F3 pada Miosen Tengah sampai saat ini dan menghasilkan
deformasi berupa sesar naik berarah baratbaratdaya-timurtimurlaut, sesar naik
di sepanjang sesar mendatar sebelumnya berarah utarabaratlaut, lenturan yang
membentuk monoklin ke arah selatanbaratdaya di sepanjang rekahan batuan dasar
berarah N390E ± 3.50 (Mount dan Suppe, 1992 dalam
Heidrick dan Aulia, 1993). Lipatan yang terbentuk pada F3 umumnya berarah sumbu
N150 - 250W, hampir sejajar dengan restraining bend sesar-sesar mendatar utama yang berarah utara -
selatan.
4.3 STRATIGRAFI REGIONAL
Eubank
dan Makki (1981), Yarmanto dan Aulia (1988), serta Heidrick dan Aulia (1993)
membagi unit stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah dari Paleogen - Pliosen
dan Kuarter menjadi lima grup/formasi, yaitu: Formasi Pematang, Grup
Sihapas, Formasi Telisa, Formasi Petani, dan Formasi Minas (aluvial) seperti
yang terlihat pada Gambar 4.23. Heidrick dan Aulia (1993)
membagi stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah menjadi batuan dasar
Pra-Tersier, batuan sedimen Paleogen, batuan sedimen Neogen, dan endapan Plistosen.
4.3.1 Batuan dasar Pra-Tersier
Batuan-batuan
dasar Pra-Tersier Sumatera Tengah tersusun oleh tiga mandala geologi yang
berbeda (Eubank dan Makki, 1981), yaitu: Quartzite Terrain (Eubank dan Makki, 1981) disebut juga Lempeng Mikro Malaka
(Pulunggono dan Cameron, 1984), Mutus Assemblage
dan Greywacke Terrain (Eubank dan Makki, 1981) atau disebut juga Lempeng Mikro
Mergui (Pulunggono dan Cameron, 1984). Menurut Pulunggono dan Cameron (1984) Lempeng
Mikro Malaka tersusun oleh kuarsit, granit, batugamping yang berumur Paleozoikum. Lempeng
Mikro Mergui tersusun oleh batuan berumur Permian – Karbon terdiri dari greywacke, kuarsit dan argillit, serta
intrusi granit. Mutus Assemblage
tersusun oleh argillit, serpih merah, tufa dan basalt serta sekis kloritik yang berumur Trias –
Jura.
4.3.2 Batuan sedimen Paleogen
Pengendapan
batuan Tersier di Cekungan Sumatera Tengah diawali oleh endapan non-marin Grup Pematang dalam cekungan
berarah utara selatan yang terbentuk akibat rifting
Eosen – Oligosen (Yarmanto dan Aulia, 1988) atau pada periode Deformasi F1
(Heidrick dan Aulia, 1993).
Gambar 4.23 Stratigrafi umum Cekungan Sumatera Tengah (dimodifikasi
dari Heidrick dan Aulia, 1993).
Mengacu
kepada Heidrick dkk (1993), Grup Pematang tersusun oleh tiga formasi
berturut-turut dari tua ke muda: Formasi Lower
Red Beds, Formasi Brown Shale dan
Formasi Upper Red Beds. Formasi Lower Red Beds disusun oleh fanglomerat,
konglomerat, batupasir, batulanau, mudstone,
dan serpih yang terbentuk pada lingkungan kipas aluvial, fluvio-deltaik, sampai
danau. Di atas Formasi Lower Red Beds
diendapkan Formasi Brown Shale yang
tersusun oleh serpih lakustrin kaya kandungan bahan organik berselingan dengan
batupasir halus. Selanjutnya di atas Formasi Brown Shale diendapkan Formasi Upper
Red Beds yang tersusun oleh serpih, mudstone,
batupasir, konglomerat dan batubara.
4.3.3 Batuan sedimen Neogen dan Kuarter
Di
atas Grup Pematang diendapkan suatu seri endapan transgresif yang termasuk ke
dalam Grup Sihapas yang berkembang pada Miosen Awal (Gambar 13.5). Selanjutnya diendapkan Formasi Petani pada Miosen
Tengah – Miosen Akhir pada kondisi regresif. Di atas Formasi Petani diendapkan Formasi
Minas pada Plistosen.
4.3.3.1 Grup Sihapas
Grup
Sihapas terdiri atas Fomasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi
Duri dan Formasi Telisa. Formasi Menggala tersusun oleh sedimen batupasir
konglomerat dan batupasir kasar sampai halus yang diendapkan pada lingkungan
fluvio-deltaik (Heidrick dan Aulia, 1993). Secara selaras diatas Formasi Menggala
diendapkan Formasi Bangko yang tersusun oleh serpih gampingan dan batugamping
pada lingkungan intertidal (Heidrick
dan Aulia, 1993) yang di beberapa tempat di bagian timur dan utara Cekungan
Sumatera Tengah berkembang sebagai batulanau dan batupasir yang diendapkan pada
lingkungan estuari. Selanjutnya diendapkan Formasi Bekasap yang dicirikan oleh
perselingan batupasir, batulanau dan serpih serta sisipan gampingan dan
batubara. Formasi Bekasap berkembang pada lingkungan tide dominated delta sampai brackish
water. Di atas Formasi Bekasap diendapkan Formasi Duri pada lingkungan
delta. Formasi Duri tersusun oleh perselingan batupasir halus sampai sedang dan
serpih. Selanjutnya diendapkan Formasi Telisa yang tersusun oleh perselingan
batulanau dan serpih yang diendapkan pada lingkungan
neritik luar.
Pada bagian barat Cekungan Sumatera Tengah Formasi Telisa menjemari dengan
Formasi Duri.
4.3.3.2 Grup Petani dan Formasi Minas
Heidrick
dkk (1996) membagi Grup Petani menjadi Petani Bawah, Petani Tengah dan Petani
Atas berdasarkan keberadaan penanda regional lignit Petani A dan batugamping
Petani B. secara umum Grup Petani terdiri dari serpih, batulempung, batulanau,
batupasir dan lignit. Di atas Grup Petani diendapkan Formasi Minas yang
tersusun oleh endapan kipas aluvial pada kala Plistosen.
4.4 SISTEM PETROLEUM & PLAY REGIONAL
4.4.1 Batuan Induk
Endapan lakustrin fasies Brown Shale Formasi
Pematang dikenali sebagai batuan induk untuk kehadiran minyak di Cekungan Sumatera
Tengah. Dua fasies organik diidentifikasi pada fasies Brown
Shale, yakni fasies algal-amorphous
(tipe I dan I-II) dan carbonaceous
(tipe II dan III). Fasies algal-amorphous merupakan oil prone dan hadir pada bagian atas Brown Shale di daerah Tinggian
Aman, Ranggau, Balam, dan Bengkalis.
Fasies karbonan Brown Shale merupakan fasies gas dan
sedikit kondensat/minyak ringan. Fasies karbonan hadir di daerah Tinggian
Aman, Ranggau, Balam, dan Ranggau. Kekayaan organik rata-rata contoh Brown Shale adalah 5% TOC, pada beberapa
bagian mencapai 20%. Fasies karbonan tersusun atas vitrinit (material humus dan
sisa tumbuhan). Kekayaaan organik berkisar antara 1 – 43% TOC. Kualitas organik
diindikasikan oleh rendahnya rasio unsur karbon terhadap karbon yang kurang
dari 0,85 dan indeks hidrogen dengan nilai kurang dari 300.
4.4.2 Batuan Reservoir
Batuan reservoir Cekungan Sumatera Tengah merupakan batuan
sedimen post-rift. Grup Sihapas
merupakan kelompok batuan reservoir utama Cekungan Sumatera Tengah. Grup
Sihapas terdiri atas lima
formasi batuan yakni Formasi
Menggala, Bangko, Bekasap, Duri, dan Telisa (Gambar 4.23). Batupasir
Formasi Menggala dan Bekasap merupakan reservoir minyak utama. Formasi Menggala umumnya terdiri atas endapan fluvial dengan sikuen
menghalus ke atas.
Porositas formasi berkisar 25% dan permeabilitas 1.200 mD membuat formasi sangat ideal sebagai
reservoir. Batupasir Formasi Menggala berkembang baik di bagian tengah Cekungan
Sumatera Tengah, dengan arah baratlaut-tenggara
dan ketebalan antara 15,24 – 274,32
m, dan menipis hingga ke batas cekungan. Kisaran produksi minyak dari
reservoir ini adalah 1.000
BOPD yang dihitung dari 3,048 m (10 kaki) perforasi. Karakter log dari batupasir Formasi
Menggala dapat dilihat pada Gambar 4.24.
Batupasir
Formasi Bekasap Cekungan Sumatera
Tengah memiliki porositas rata-rata yang sangat baik, yakni 27% dan permeabilitas
sekitar 2.000 mD. Batupasir
ini umumnya memiliki ketebalan 9,14
– 12,2 m
yang berseling dengan batuserpih. Formasi Bekasap diinterpretrasikan sebagai
endapan delta prograding, yang
diendapkan dari Paparan
Malaysia dan menerus ke arah barat hingga Pegunungan Barisan. Gambar 4.25 mengilustrasikan karakteristik log reservoir Formasi
Bekasap. Grup Pematang dapat bertindak sebagai reservoir dengan tingkat
porositas yang sangat rendah pada endapan-endapan syn-rift. Peta
isopach endapan syn-rift di daerah Graben North Aman dapat dilihat pada Gambar 4.26.
Formasi Lower Red Bed terdiri dari sikuen menghalus ke atas dari endapan meandering bar dan endapan floodplain. Batupasir ini memiliki
kualitas porositas dan permeabilitas yang rendah, yakni 15% dan 200-400 mD.
Beberapa bagian umumnya hanya terdiri dari 15-20% prosentase
pasir efektif.
Formasi Lower Red Bed terdiri
atas sikuen menghalus ke atas
dari endapan meandering bar dan endapan
flood plain. Batupasir ini memiliki
kualitas porositas dan permeabilitas yang rendah, yakni 15% dan 200 – 400 mD. Beberapa bagian umumnya
hanya terdiri dari 15 – 20%
persentase pasir efektif.
Reservoir
pada interval Brown Shale terdiri
dari endapan pasir turbidit dan distal
fan. Fasies reservoir umumnya terdiri dari batupasir sangat halus deengan
interkalasi batulanau, dan memiliki kualitas porositas sedang-buruk. Reservoir pada
interval Upper Red Bed memiliki
karakteristik ketebalan yang beragam, amalgamated low sinuosity, terdiri dari batupasir endapan sungai
dan sungai teranyam (braided), dan
berlapis dengan horison paleosol. Formasi ini memiliki karakteristik reservoir
yang baik dengan nilai rata-rata persentase pasir sebesar 35%, beberapa sumur
mencapai 60% gross batupasir,
porositas 20% dan rata-rata permeabilitas sebesar 800 mD.
Gambar 4.24 Karakteristik
log dari batupasir formasi Manggala (Pertamina BPPKA, 1996).
Gambar 4.25 Karakteristik
log dari lapisan reservoir pada formasi Bekasap (Pertamina BPPKA, 1996).
Gambar 4.26 Peta Isopach dan Lingkungan pengendapan dari
endapan Syn-Rift pada graben North Aman
(Pertamina BPPKA, 1996).
4.4.3 Perangkap
Rangkaian episode struktur Cekungan
Sumatera Tengah terbagi menjadi grup genetik F1, F2 dan F3. Lapangan minyak terbesar
berasosiasi dengan episode struktur inversi dan transpresional pergerakan
genetik F3, seperti yang telah di dokumentasikan di Lapangan Minas dan Duri (Gambar 4.28 dan Gambar 4.29). Lapangan minyak lain, seperti lapangan Bangko,
Petani, Pematang dan Zamrud juga berhubungan dengan struktur inversi regional
berarah utara-selatan (Gambar 4.30,
Gambar 4.31 dan Gambar 4.32). Struktur
transpresional atau positive flower structure yang menjadi perangkap
sepanjang lekukan baratlaut patahan regional utara-selatan dapat teramati pada
lapangan Pusaka, Pedada, Mengkapan, dan Butun.
Struktur-struktur transtensional
dan transpresional berskala kecil searah patahan utara-selatan (wrench fault) dapat diamati pada
lapangan-lapangan minyak berukuran kecil dengan recoverable reserve sebesar 5 – 20 MMBO. Tipe struktur transpressional dapat dijumpai
di bagian barat cekungan ini, seperti Lapangan Jingga, Kelabu, dan Hitam. Perangkap transtensional umumnya hadir di
bagian paparan tepi pantai, diantaranya Lapangan Pungut yang juga hadir dalam bentuk perangkap
dari antiklin rollover.
Perangkap stratigrafi tidak
secara luas dijumpai pada Cekungan Sumatera Tengah dan umumnya memiliki play dengan resiko tinggi. Formasi
Bangko terdiri dari lapisan batupasir dan shale.
Batupasir pada formasi ini umumnya karbonatan dan mengandung glaukonit.
Gambar 4.27 Karakter Log
dari lapisan reservoir batupasir Formasi Upper Red Bed. (Pertamina BPPKA, 1996).
Gambar 4.28 Model perangkap untuk Lapangan
Minas (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.29 Model perangkap untuk Lapangan Duri (PERTAMINA-BPPKA,
1996).
Gambar 4.30 Model perangkap untuk Lapangan Petani (PERTAMINA-BPPKA,
1996).
Gambar 4.30 Model perangkap untuk Lapangan Petani (PERTAMINA-BPPKA,
1996).
Gambar 4.31 Model perangkap
untuk Lapangan Pematang (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
Gambar 4.32 Model perangkap
untuk Lapangan Zamrud (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
4.4.4 Batuan
Penyekat
Lapisan serpih pada sikuen syn-rift dapat juga bertindak sebagai top seal bagi reservoir di bagian syn-rift.
Gambar 4.33 Ringkasan Sistem Petroleum di Cekungan Sumatera
Tengah (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
4.5 KONSEP
PLAY REGIONAL
Gambar 4.34 Ringkasan
Play Concept pada beberapa formasi
reservoir di Cekungan Sumatera Tengah (Beicip, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nijhoff The Hague.
Buchanan, P.G., McClay, K., 1991, Sandbox
Experiments Of Inverted Listric and Planar Fault Systems, Tectonophysics, v. 188.
Cameron, N.R., Clarke, M.G.,
Aldiss, D.T., Apsden, J.A., Djunuddin, A., 1980, The Geological
Evolution of Northern Sumatera.
Charles, M.G.A., Ballantyne,
P.D., Hall, R., 1988, Mesozoic-Cenozoic Rift- Drift Sequence of Asian
Fragments from Gondwanaland, Tectonophysics.
Christiansen, A.F.; 1983, An
Example of a major Syndepositional Listric Fault; in Bally, A.W., Seismic
Expression of Structural Styles, AAPG studies in
Geology.
Dahlen, F.A., Suppe, J., Davis,D., 1984, Mechanics
of Fold–and-Thrust Belts and Accretionary Wedges: Cohesive Coulomb Theory; Journal of Geophysical Research, V.89,
no. B12.
Daly M.C., Cooper,M.A.,
Wilson J., Smith,D.G., Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic Plate Tectonics and Basin Evolution in
Indonesia, Marine And Petroleum Geology.
Davis, G., Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John
Willey and Sons Inc., New York.
de Coster, G.
G.,
1974,
The Geology
of the Central and South Sumatera Basins. Indonesian Petroleum Association,
Proceedings of the 3rd Annual Convention, Jakarta, 1974.
Dewey,
J. F., Cande, S. & Pitmann, W. C. III. 1989. Tectonic evolution of the
India/Eurasia collision zone. Eclogae geologicae Helvetii.
Ellis, P., McClay, K., 1988, Listric
Extensional Fault Systems - Results of Analogue Model Experiments, Basin Research, v.1, hal. 55-70.
Eubank, R.T., Makki, A.C.,
1981, Structural Geology of the Central Sumatera Back-arc Basin, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual
Convention Proceeding.
Hall, R., 1996, Reconstructing
Cenozoic SE Asia. In: Hall, R. dan Blundell, D. J., 1996, Tectonic Evolution of Southeast Asia,
Geological Society of London, Special Publication 106, pp.153-184.
Hall,
R. 2002,
Cenozoic Geological And Plate Tectonic Evolution Of SE Asia And The SW Pacific:
Computer Based Reconstructions, Model And Animations, Journal
of Asian Earth Sciences.
Hamilton,
W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, U.S. Geological Survey Professional Paper, No. 1078, 345p.
Heidrick,
T.L. dan Aulia, K., 1993, A Structural and Tectonic Model of the
Coastal Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian
Pet. Assoc., 22nd Annual Convention Proceeding.
Hutchinson, C. S., 1989,
Geological evolution of South-East Asia; Oxford
Monographs on Geology and Geophysics No. 13, Oxford Sci. Pub.
Koning,T.,
Darmono, F.X., 1984,The Geology of The Beruk Northeast
Field, Central Sumatera,Oil
Production from Pre-Tertiary Basement Rock, Indonesian Pet. Assoc., 13th
Annual Convention Proceeding.
Mertosono,
S., Nayoan, G.A.S., 1974, The Tertiary Basin Area of Central Sumatra, Indonesian Pet. Assoc., 3th
Annual Convention Proceeding, hal.63-76.
McCourt,
W.J., Crow, M.J. Cobbing, E.J. & Amin, T.C., 1996, Mesozoic and
Cenozoic Plutonic
Evolution
of SE Asia: Evidence
from Sumatera, Indonesia. In: R. Hall dan
D.J. Blundell, (eds) Tectonic
Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London, Special
Publication 106, 321-335.
Metcalfe, I., 1988. Origin and Assembly of Southeast
Asian Continental Terranes. In: M.G.
Audley-Charles & A. Hallam (eds), Gondwana and Thetys, Geological Society of London, Special
Publication 37, 101-118.
Metcalfe,
I. 1989, Triassic conodonts of Sumatera. In: H. Fontaine and
S.Gafoer (eds), The
Pre-Tertiary fossils of Sumatera and their environments,
CCOP Technical Papers.
Packham, G., 1996, Cenozoic
SE Asia: Reconstructing its Aggregation and Reorganization, Tectonic Evolution of
Southeast Asia In:
R. Hall dan D.J.
Blundell, (eds) Tectonic Evolution of
Southeast Asia, Geological
Society of London, Special Publication 106, 321-335.
PERTAMINA dan BEICIP
FRANLAB, 1992, Central Sumatera Basin, Global Geodynamics, Basin
Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, PERTAMINA,
Jakarta.
PERTAMINA BPPKA, 1996, Petroleum Geology of Indonesian Basins:
Principles, Methods and Application, Vol II: Central Sumatera Basins.
PERTAMINA dan FIKTM ITB,
2002, Hydrocarbon Potential Study ff Indonesia Basin, Pertamina, unpublished.
Petroconsultants, 1996, Petroleum exploration
and production database: Houston,Texas, Petroconsultants, Inc.
Pulunggono,
A. & Cameron, N.R. 1984. Sumateran Microplates, Their
Characteristics and Their Role in The Evolution of The Central and South Sumatera Basins. Indonesian
Pet. Assoc., 13th Annual Convention Proceeding.
Tapponnier,
P., Peltzer, G. & Armijo, R. 1986. On the Mechanics Between the Collision of India and Asia. In: M. P. Coward & A. C.
Ries, (eds) Collision Tectonics, Geological
Society of London, Special Publication, 19, 1154–1157.
Wakita, K dan Metcalfe, I,
2005, Ocean Plate Stratigraphy in East and Southeast Asia, Journal of Asian Earth Sciences Vol.24.
Withjack, M.,
Jamison, W., 1986, Deformation Produced by Oblique
Rifting, Tectonophysics, v. 126.
Yarmanto,
Heidrick, T.L. Indrawardana & Strong, B.L. 1995. Tertiary Tectonostratigraphic
Development
of the Balam Depocenter,
Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian
Pet. Assoc., 24th Annual Convention
Proceeding.
RIFT
BASIN
No comments:
Post a Comment