Wednesday, July 5, 2017

Cekungan Mentawai #7

7.1       REGIONAL     

7.1.1        Geometri Cekungan         

Cekungan Mentawai merupakan cekungan busur depan (Paleogene - Neogene Fore Arc Basin), berada pada 98,5° -  101,5° BT dan 0,4° - 3,7° LS (Gambar 7.1). Geometri Cekungan Mentawai memanjang dengan arah baratlaut - tenggara sejajar dengan Pulau Sumatera. 

Cekungan ini berada diantara jajaran Kepulauan Mentawai dan Pulau Sumatera. Cekungan  dideliniasi dari anomali gaya berat yang signifikan yang kemudian dikonfirmasi dengan seismik yang menunjukkan paket tebal sedimen dengan ketebalan minimum 2.500 meter pada batas cekungan. Sedimentasi Cekungan Mentawai diendapkan pada batuan dasar yang berumur Pra-Tersier. Ketebalan sedimennya antara 3.500 – 5.000 m (Gambar 7.2).

Cekungan Mentawai memiliki luas total kurang-lebih 33.440 km2 dengan keseluruhan wilayah cekungan berada di perairan. Di bagian utara, cekungan ini berbatasan dengan Cekungan Nias, sebelah timur dibatasi oleh tinggian Pulau Sumatera, sebelah barat dibatasi oleh tinggian pulau-pulau seperti Pulau Siberut, Pulau Sipura, Pulau Pangai Utara dan Pulau Pangai Selatan, sedangkan yang menjadi batas sebelah selatan adalah Cekungan Bengkulu. Peta anomali gaya berat menunjukkan kontras densitas yang signifikan yang membantu mendeliniasi batas Cekungan Mentawai (Gambar 7.3)

7.1.2        Sejarah Eksplorasi

Grup Jenney mengumpulkan data baru selama lima tahun eksplorasi, dalam kurun waktu 19691974 yang dibagi menjadi lima tahun kontrak. Beberapa penampang seismik telah diakuisisi selama tiga tahun kontrak pertama yang kemudian dapat mengidentifikasi paket sedimen tebal di Cekungan Mentawai, batugamping terumbu di lingkungan laut dangkal, dan menancapkan dua sumur bor yaitu Mentawai A-1 dan Mentawai C-1 selama bulan MaretApril 1972 yang hanya menunjukkan keberadaan metana dan kemudian sumur-sumur tersebut ditinggalkan. Survei magnetometer, seismik darat, dan survei gaya berat dilakukan pada dua tahun terakhir kontrak kemudian dilanjutkan dengan pemboran dua sumur stratigrafi yakni: Bengkulu X-1 dan Bengkulu X-2 yang sama-sama tidak menunjukkan keberadaan hidrokarbon. Hasil-hasil negatif yang ada menyebabkan Grup Jenney meninggalkan area ini pada 30 April 1974.    

Gambar 7.1 Peta Lokasi Cekungan Mentawai.



Gambar 7.2 Peta isopach dan distribusi lokasi sumur Cekungan Mentawai.
Gambar 7.3 Peta anomali gaya berat di Cekungan Mentawai.

7.2       TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Sumatera terletak di bagian barat Daratan Sunda, merupakan suatu tarikan pada bagian selatan Lempeng Eurasia. Saat ini, Lempeng Samudra Hindia bergerak dan mengalami subduksi miring dibawah Lempeng Eurasia pada arah N20°E dengan kecepatan pergerakan rata-rata 6 – 7 cm/tahun. Zona konvergen aktif miring ini menyebabkan sistem palung busur Sunda aktif, memanjang dari Burma di bagian utara sampai zona tumbukan Lempeng Australia dengan Indonesia bagian timur di bagian selatan (Hamilton, 1979).

Daerah busur depan, yang diberi nama Lempeng Burma oleh Curray dkk (1979), merupakan hasil pergeseran menganan Lempeng Eurasia sepanjang batas transform Sistem Sesar Sumatera (SFS). Berdasarkan data-data geofisika di daerah Mentawai diindikasikan telah terjadi suatu sesar geser besar yang sejajar dengan Sistem Sesar Sumatera, yang dikenal dengan Sesar Mentawai (Gambar 7.4). Sesar ini memanjang hingga ke utara Pulau Nias dan Selat Sunda.
Gambar 7.4 Penampang seismik cekungan depan busur di Kepulauan Mentawai dan melewati Zona Sesar Mentawai (Schluter dkk., 2002).
Pulau Mentawai memiliki sejarah pembentukan yang sama dengan Pulau Nias, merupakan komplek akrasi yang terangkat (Moore dan Karig, 1980) seperti juga digambarkan oleh Schluter dkk (2002) pada penampang seismik yang memotong cekungan busur depan Pulau Mentawai (Gambar 7.5).
Gambar 7.5 Peta elemen tektonik Pulau Sumatera (Yulihanto dkk., 1995).

7.3       STRATIGRAFI REGIONAL

Stratigrafi Tersier Cekungan Mentawai diawali dengan pengendapan Seri Tufaan yang memiliki kesetaraan dengan Formasi Talang akar yang terdiri dari litologi batupasir tufaan, batulempung tufaan, konglomerat dan breksi dengan ketebalan berkisar antara 1.000 – 1.400 m. Kemudian diendapkan Seri Tufa-Napal yang setara dengan Formasi Batu Raja pada awal Miosen dengan litologi berupa batulempung tufaan, serpih tufaan, batupasir dan napal dengan ketebalan sekitar 1.000 m (Gambar 7.6) menumpang secara tidak selaras terhadap batuan dasar Pra-Tersier. 
Di atas Formasi Batu Raja pada umur Miosen diendapkan secara selaras Formasi Gumai. Formasi ini terdiri dari lapisan batu lempung. Pada umur Miosen Tengah di cekungan ini diendapkan Seri Batugamping-Napal yang setara dengan Formasi Air Benakat. Litologi seri ini berupa batugamping, napal, sedikit sisipan  dan batupasir serta serpih; minimal ketebalan diperkirakan 600 m. Kemudian Formasi Parigi diendapkan diatas Formasi Air Benakat dengan dominasi litologi batugamping. Kemudian pada umur Pliosen diendapkan Formasi Muara Enim, batuannya berupa perlapisan antara lempung dan batupasir, napal. Genang laut pada Plistosen mengiringi pembentukan Formasi Eburna yang diendapkan langsung diatas Formasi Muara Enim denga litologi dominan batugamping. Dua Formasi terakhir (Formasi Parigi dan Eburna) termasuk kedalam Seri Transgresi Muda yang ada di Cekungan Mentawai.
Gambar 7.6 Stratigrafi Cekungan Mentawai (Yulihanto dkk., 1995).

7.4       SISTEM PETROLEUM

7.4.1        Batuan Induk

Batuan induk berasal dari serpih dan lempung Formasi Gumai dan Formasi Talang Akar. Formasi Talang Akar mempunyai potensi hidrokarbon gas, sedangkan Formasi Gumai bukan merupakan batuan induk berpotensi karena masih berada pada daerah yang belum mencapai titik kematangan. Tipe kerogen adalah tipe II-III (lakustrin), dengan kandungan TOC baik, sekitar 0,5 – 2,0 % (Formasi Gumai), dan 0,85 – 75,0 % (Formasi Air Benakat).

7.4.2        Reservoir

Reservoir berasal dari endapan-endapan Formasi Batu Raja dan ekivalen Formasi Parigi. Batuan reservoir pada umumnya adalah batugamping yang diendapkan di daerah paparan laut dangkal.  

7.4.3        Perangkap

Tipe perangkap adalah two – three way dip, fault bounded anticline, tilted fault block, karbonat build-up, dan kemungkinan memiliki perangkap stratigrafi berupa perubahan fasies (wedge-out) dan sedimen yang onlapping ke batuan dasar.  

7.4.4        Batuan Penyekat

Batuan penyekat berupa batulempung Formasi Gumai dan Formasi Muara Enim. Belum ada penemuan maupun indikasi tentang hidrokarbon di cekungan ini yang menyebabkan beberapa eksplorasi sebelumnya menemui kebuntuan dan akhirnya cekungan ini ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Curray, J. R., Moore, D. G. Lawver, L. A. Emmel, F. J. Raitt, R. W. Henry, M. & Kieckheffer, R., 1979. Tectonics of the Andaman Sea and Burma. In: Watkins, J. S., Montadert, L. & Dickenson, P. W. (eds) Geological and Geophysical Investigation of Continental Margins, American Association of Petroleum Geologists, Memoirs, 29, 189 198.
Hariadi, N dan R.A. Soeparjadi, 1975, Exploration of The Mentawai Block – West Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 4th Annual Convention Proceedings, hal.55 – 65.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, U.S. Geological Survey Professional Paper, No. 1078, 345p.
Moore, G.F. & Karig, D.E. 1980. Structural geology of Nias Island, eastern Indonesia, implications for subduction zone tectonics. American Journal of Science, 280, 193 223.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, PERTAMINA, Jakarta.
Schlüter, H. U., C. Gaedicke, H. A. Roeser, B. Schreckenberger, H. Meyer, C. Reichert, Y. Djajadihardja, and A. Prexl (2002), Tectonic features of the southern Sumatera-western Java fore-arc of Indonesia, Tectonics, 21(5), 1047, doi:10.1029/2001TC901048.
Samuel, M. A., Harbury, N. A, 1996, The Mentawai Fault Zone and Deformation of the Sumateran Fore-arc in the Nias Area. Geological Society of London, Special Publication 106, 337 351.
Yulihanto, B., Situmorang B., Nurdjajadi A., dan Saim B., 1995, Structural Analysis of The Onshore Bengkulu Fore-arc Basin and it’s Implication for Future Hydrocarbon Exploration Activity, Indonesian Pet. Assoc., 24th Annual Convention Proceedings, hal.85 96.




Tuesday, July 4, 2017

Cekungan Ombilin #6

6.1       REGIONAL

6.1.1        Geometri Cekungan

Cekungan Ombilin merupakan cekungan di dalam busur vulkanik, berada pada kisaran koordinat 100° - 101° BT dan 1° - 1.8°LS (Gambar 6.1). Geometri cekungan ini tidak terlalu besar karena berada dalam zona batuan dasar yang tersingkap sepanjang Pulau Sumatera.

Cekungan Ombilin memanjang dengan arah baratlaut-tenggara searah dengan struktur besar Sesar Sumatera. Berada dalam busur magmatik dan kompleks tinggian Sumatera maka cekungan ini merupakan cekungan yang sempit yang dibatasi langsung oleh singkapan batuan dasar dan kompleks volkanik yang tersingkap di permukaan. Luas total cekungan adalah 812 km2. Anomali gaya berat Bouguer di daratan kurang memberikan kontras densitas untuk Cekungan Ombilin (Gambar 6.2), kemungkinan juga karena cekungannya kurang tebal dengan batas minimal tebal sedimen pada tepi cekungan 0500 m yang posisinya berada tepat di tengah-tengah singkapan batuan dasar Pra-Tersier di Perbukitan Barisan. Batuan dasar cekungan ini berumur Pra-Tersier dengan ketebalan sedimennya antara 5002.000 meter (Gambar 6.3).
Gambar 6.1 Lokasi Cekungan Ombilin.
Gambar 6.2 Peta anomali gaya berat untuk Cekungan Ombilin.
Gambar 6.3 Peta isopach dan sumur pada Cekungan Ombilin.

6.2       TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Pembentukan Cekungan Ombilin dimulai pada Eosen Akhir ditandai pembentukan graben-graben berarah baratlaut-tenggara dan utara-selatan yang dibentuk oleh sesar-sesar normal dan mendatar. Rezim kompresi yang terus berlangsung selama Oligosen membentuk struktur-struktur kompresif berarah baratlaut - tenggara. Pengangkatan yang diakibatkan oleh berbagai struktur kompresi menyebabkan adanya ketidakselarasan sebelum diendapkannya Formasi Sangkarewang.

Perubahan arah kompresi lokal pada Cekungan Ombilin menjadi arah utarabaratlaut - selatantenggara mengaktifkan kembali sesar-sesar mendatar berarah baratlaut - tenggara dan sesar normal yang searah dengan arah kompresi utamanya yang mengontrol pengendapan Formasi Sawahlunto. Perubahan kembali arah kompresi menjadi timurlaut - baratdaya mengakibatkan hadirnya sejumlah struktur inversi (Gambar 6.4) sepanjang Zona Sesar Takung berarah baratlaut atau lebih dikenal dengan arah N 3000 E. Struktur inversi ini disertai dengan terlipatnya Formasi Ombilin dan Sawahtambang pada arah yang sama (skema lengkap tektonostratigrafi Cekungan Ombilin dapat dilihat pada Gambar 6.5).
Gambar  6.4 Penampang skematik memotong Cekungan Ombilin yang memperlihatkan beberapa struktur inversi (dimofikasi dari Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
Gambar 6.5 Tektonostratigrafi Cekungan Ombilin (Situmorang, dkk., 1991).

6.3       STRATIGRAFI REGIONAL

Formasi Tuhur, Kuantan dan Silungkang merupakan endapan paling tua yang tersingkap di permukaan, terdiri dari batuan vulkanik dalam dengan komposisi andesitik dan basaltik serta tufa. Batugamping dan batuan berbutih halus (argilit) hadir pada bagian atas. Formasi Kuantan yang berumur lebih tua terdiri dari batuan argilit termetamorfosakan menjadi sabak dan marmer. Ketiga formasi ini merupakan wakil dari Lempeng Mergui yang ikut diobduksikan pada saat amalgamasi Pulau Sumatera (peta singkapan batuan dasar di Cekungan Ombilin pada Gambar 6.6).
Gambar 6.6 Peta singkapan batuan dasar Pra-Tersier di Sumatera Tengah (Pertamina & BPPKA, 1996).
Formasi Brani kemudian diendapkan secara tidak selaras diatas batuan Pra-Tersier dengan litologi berupa konglomerat dan breksi dengan komponen yang bervariasi, secara lokal diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Pada bagian atas formasi ini diendapkan Formasi Sangkarewang (Eosen Awal) yang berupa napal, batulempung dan batupasir yang diendapkan di lingkungan danau memiliki struktur slump dan hubungan menjari (interfingering) dengan Formasi Brani.

Formasi Sawahlunto kemudian diendapkan sebagai formasi yang menandakan dimulainya fasa sagging Cekungan Ombilin, endapannya berupa batuan sedimen berbutir halus dalam bentuk batupasir, batulempung dan batubara yang diendapkan dalam lingkungan fluviatil pada akhir fasa syn-rift. Formasi Sawahtambang yang diendapkan pada lingkungan fluviatil pada sungai bermeander memiliki litologi berupa perlapisan batupasir dan batulempung beserta konglomerat seringkali terdapat struktur perlapisan silang siur.

Dua anggota Formasi Sawahtambang yakni Anggota Rasau dan Poro memiliki litologi yang nyaris serupa kecuali hadirnya sisipan batubara pada Anggota Poro yang berumur lebih muda. Perubahan lingkungan pengendapan menjadi lingkungan laut dangkal mengendapkan Formasi Ombilin berupa napal dengan lensa batugamping dan berlapis dengan tufa di bagian atasnya. Perlapisan batulempung gampingan dengan batupasir glaukonitan juga menjadi ciri formasi ini.  Formasi terakhir yang diendapkan adalah Formasi Ranau yang diendapkan dalam lingkungan terestrial berupa tufa, breksi, dan aglomerat (Gambar 6.7).
Gambar 6.7 Stratigrafi regional Cekungan Ombilin (dimodifikasi dari Situmorang dkk., 1991).

6.4      SISTEM PETROLEUM

6.4.1        Reservoir

Formasi Sawahtambang merupakan formasi yang terbukti sebagai reservoir, diendapkan pada lingkungan fluvial Formasi Sawahtambang memiliki variasi litologi berupa perselingan konglomerat dan batupasir di bagian bawah (Anggota Poro), perselingan batupasir dan konglomerat serta batupasir konglomeratan di bagian tengah dan perselingan batupasir-batulempung dengan sisipan batubara di bagian paling muda (Anggota Rasau). 

6.4.2        Batuan induk 

Serpih coklat dari Formasi Sangkarewang dengan kandungan TOC 7,8% dengan perbandingan hidrogen dan karbon 1 : 3 memiliki kecenderungan untuk membentuk minyak. Serpih dan batubara dari Formasi Sawahlunto juga merupakan batuan induk dengan potensi yang baik menghasilkan minyak dengan tipe kerogen II dan III dari lingkungan lakustrin. 

6.4.3        Perangkap 

Perangkap yang paling potensial berupa perangkap struktur yang dibentuk blok-blok sesar yang termiringkan juga dalam bentuk perlipatan yang terbentuk akibat struktur sesar naik.  Pergerakan sesar mendatar juga membentuk struktur transpressional yang memiliki kemungkinan untuk menjadi alternatif perangkap yang baik.

6.4.4        Batuan Penyekat  

Serpih dari Formasi Ombilin mempunyai potensi untuk menjadi batuan penyekat pada perangkap hidrokarbon yang ada, begitu pula dengan serpih intraformasi yang ada di hampir semua formasi.

6.4.5        Evaluasi Cekungan

Kehadiran batuan induk dari Formasi Sangkarewang yang merupakan ekuivalen dari Formasi Menggala (CSB) dan Talangakar (SSB) yang memiliki potensi penghasil batuan induk yang sangat baik ditambah dengan kehadiran batuan induk dari Formasi Sawahlunto. Kehadiran batuan penyekat dengan kualitas baik dari serpih Formasi Ombilin yang menutupi perangkap hidrokarbon berupa perangkap struktur dengan kombinasi bersama perangkap stratigrafi.    

DAFTAR PUSTAKA

Koesoemadinata R. P. dan Matasak Th, 1981, Stratigraphy and Sedimentation Ombilin Basin Central Sumatera (West Sumatera Province), Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceedings, hal.217 – 249.
Koning T., 1985, Petroleum Geology of the Ombilin Intermontane Basin, West Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 14th Annual Convention Proceedings, hal.117137.    
Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawa, R., dan Jacob, G,T., 1991, Structural Development of the Ombilin Basin West Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 20th Annual Convention Proceedings, hal.115.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, Ombilin Basin, PERTAMINA, Jakarta.










Monday, July 3, 2017

Cekungan Pendalian #5

5.1       REGIONAL

5.1.1        Geometri Cekungan

Cekungan Pendalian merupakan salah satu cekungan di kawasan barat Indonesia. Merupakan cekungan busur dalam (Paleogene  Neogene Intra Arc Basin), berada pada koordinat 98,50° - 100,75° BT dan 0,90° - 0° LU (Gambar 5.1).

Geometri cekungan ini memanjang dengan arah baratlaut-tenggara. Sebelah utara dibatasi oleh Cekungan Sumatera Tengah, disebelah selatan dan barat dibatasi oleh Perbukitan Barisan. Luas total cekungan adalah 2.531 km2 dengan keseluruhan wilayah cekungan berada pada daratan. Anomali gaya berat (Gambar 5.2) kurang membantu untuk mendeliniasi batas cekungan, akan tetapi data isopach dan singkapan batuan dasar di permukaan memberikan batas yang jelas untuk cekungan ini.
Gambar 5.1 Lokasi Cekungan Pendalian.
Gambar 5.2 Peta anomali gaya berat regional di Pendalian.Cekungan 
Sedimen Tersier di Cekungan Pendalian diendapkan di atas batuan dasar yang berumur Pra-Tersier dengan ketebalan  sedimen mencapai 1.000 m dibatasi oleh tinggian Perbukitan Barisan (Gambar 5.3), Cekungan Pendalian menjadi cekungan dengan pelamparan sedimen terbatas.
Gambar 5.3 Peta isopach dan distribusi lokasi sumur Cekungan Pendalian

5.2       TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Periode Deformasi F0 (Pra-Tersier)
Deformasi F0 terjadi pada Pra-Tersier menghasilkan struktur-struktur berarah N600W ± 100 yang terkontrol oleh geometri dan batas mandala-mandala geologi yang menyusun batuan dasar (Pulunggono dan Cameron, 1984). Mandala-mandala geologi tersebut mengalami akresi pada akhir Trias (Pulunggono dan Cameron, 1984). Arah struktur yang berkembang pada F0 dicerminkan oleh sumbu tinggian dan rendahan zona sesar dan lipatan batuan dasar (Gambar 5.4).
Gambar  5.4 Sebaran jalur sutura atau Komplek Mutus di Cekungan Sumatera Tengah dan sekitarnya (Pulunggono dan Cameron, 1984).

Periode Deformasi F1 (45 – 28 Ma)
Deformasi F1 yang terjadi pada Eosen – Oligosen mengawali perkembangan kerangka tektonik Tersier. Tahap ini sering disebut fase ekstensi, dengan ciri struktur ekstensi berupa rifting yang berkembang sepanjang rekahan batuan dasar yang membentuk graben dan half graben. Heidrick dan Aulia (1993) membagi tiga pola struktur yang berkembang pada tahap F1 yaitu utara - selatan, utaratimurlaut - selatanbaratdaya dan baratlaut - tenggara. Pola utara-selatan merupakan pola yang paling dominan. Tegasan horizontal minimum yang berkembang pada periode ini berarah barat - timur.

Periode Deformasi F2 (28 – 13Ma)
Episode F2 diawali oleh berhentinya proses pemekaran dilanjutkan dengan sagging dan fase transtensional. Fase transtensional merupakan periode perkembangan sesar mendatar menganan pada elemen-elemen struktur berarah utara - selatan yang terbentuk pada fase F1. Pada beberapa tempat, elemen utara - selatan tersusun dalam pola en-echelon dengan arah stepover menganan dan mengiri. Deformasi yang terjadi pada elemen utara-selatan ini berupa simple shear dengan arah tegasan utama sekunder N470E (Heidrick dkk., 1993).

Pergerakan mendatar menganan pada elemen stepover menganan menghasilkan pola struktur transtensional berarah jurus N00E - N200E dan elemen stepover mengiri menghasilkan pola struktur transpresional dengan jurus N00W - N200W. Penampang seismik memperlihatkan bahwa struktur transtensional dan transpressional dicirikan oleh sesar normal, sesar naik dan lipatan berhubungan dengan flower structure negatif dan positif.  

Periode Deformasi F3 (13 Ma – Resen)
Fase F2 diikuti oleh F3 pada Miosen Tengah sampai saat ini dan menghasilkan deformasi berupa sesar naik berarah baratbaratdaya - timurtimurlaut, sesar naik di sepanjang sesar mendatar sebelumnya berarah utarabaratlaut, lenturan yang membentuk monoklin ke arah selatanbaratdaya di sepanjang rekahan batuan dasar berarah N390E ± 3.50 (Mount dan Suppe, 1992 dalam Heidrick dan Aulia, 1993). Lipatan yang terbentuk pada F3 umumnya berarah sumbu N15- 250W, hampir sejajar dengan restraining bend sesar-sesar mendatar utama yang berarah utara - selatan (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Kedudukan dan sifat pola tegasan yang mempengaruhi deformasi di Sumatera secara umum dan di Sumatera Tengah khususnya.

5.3       STRATIGRAFI REGIONAL

Mengacu pada kajian regional, pengendapan batuan Tersier di Cekungan Sumatera Tengah diawali oleh pengendapan sedimen non-marin Grup Pematang dalam cekungan yang berarah utara-selatan yang terbentuk akibat rifting pada Eosen – Oligosen (Yarmanto dan Aulia, 1988). Grup Pematang tersusun oleh tiga formasi berturut-turut dari tua ke muda: Formasi Lower Red Beds, Formasi Brown Shale dan Formasi Upper Red Beds (Heidrick dkk., 1996). Formasi Lower Red Beds disusun oleh fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, mudstone, dan serpih yang terbentuk pada lingkungan kipas alluvial, fluvio-deltaik, sampai danau. Di atas Formasi Lower Red Beds diendapkan Formasi Brown Shale yang tersusun oleh serpih lakustrin kaya kandungan bahan organik berselingan dengan batupasir halus. Selanjutnya di atas Formasi Brown Shale diendapkan Formasi Upper Red Beds yang tersusun oleh serpih, mudstone, batupasir, konglomerat dan batubara. Di atas Grup Pematang diendapkan suatu seri endapan transgresif yang termasuk ke dalam Grup Sihapas yang berkembang pada Kala Miosen Awal. Grup Sihapas terdiri atas Fomasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa. Formasi Menggala disusun oleh sedimen batupasir konglomerat dan batupasir kasar sampai halus yang diendapkan pada lingkungan fluvio-deltaik (Heidrick dan Aulia, 1993).

Secara selaras di atas Formasi Menggala diendapkan Formasi Bangko yang tersusun oleh serpih gampingan dan batugamping pada lingkungan intertidal (Heidrick dan Aulia, 1993) yang di beberapa tempat di bagian timur dan utara Cekungan Sumatera Tengah berkembang sebagai batulanau dan batupasir yang diendapkan pada lingkungan estuarin. Selanjutnya diendapkan Formasi Bekasap yang dicirikan oleh perselingan batupasir, batulanau dan serpih serta sisipan gampingan dan batubara. Formasi Bekasap berkembang pada lingkungan tide dominated delta sampai perairan payau. Di atas Formasi Bekasap diendapkan Formasi Duri pada lingkungan delta. Formasi Duri tersusun oleh perselingan batupasir halus sampai sedang dan serpih. Selanjutnya diendapkan Formasi Telisa yang tersusun oleh perselingan batulanau dan serpih yang diendapkan pada lingkungan neritik luar.

Pada bagian barat Cekungan Sumatera Tengah Formasi Telisa menjari dengan Formasi Duri. Selanjutnya di atas Grup Pematang diendapkan Grup Petani pada Kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir. Heidrick dkk (1996) membagi Grup Petani menjadi Petani Bawah, Petani Tengah dan Petani Atas berdasarkan keberadaan penanda regional lignit Petani A dan batugamping Petani B. secara umum Grup Petani terdiri dari serpih, batulempung, batulanau, batupasir dan lignit. Di atas Grup Petani diendapkan Formasi Minas pada Kala Plistosen sebagai endapan kipas aluvial (resume stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah pada Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah (dimodifikasi dari Heidrick dan Aulia, 1996).

5.4       SISTEM PETROLEUM

5.4.1        Batuan Induk

Akumulasi minyak Cekungan Sumatera Tengah bersumber dari serpih lakustrin Formasi Pematang/Kelesa. Unit batuan induk ini terletak pada graben-graben yang berarah utara - selatan. Distribusi batuan induk sangat tergantung kepada morfologi struktur, asupan sedimen, posisinya terhadap graben, dan variasi fasies lakustrinnya.

Tipe kerogen utama dari cekungan ini berupa tipe I dan II dengan total kandungan karbon organik tinggi. Meskipun batuan induk yang paling baik berasosiasi dengan endapan lakustrin dalam dengan energi rendah hadir juga fasies lain berupa endapan lakustrin dangkal. Batuan induk lainnya hadir pada Formasi Telisa dan Grup Sihapas dan endapan laut marjinal dari Grup Petani. Unit-unit ini lebih cenderung menghasilkan gas. Keberadaan dan kemenerusan graben-graben Paleogen memegang peranan penting terhadap keberadaan batuan induk di cekungan ini.

5.4.2        Pembentukan Hidrokarbon dan Kematangan 

Dengan analog Cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Pendalian adalah cekungan yang paling tinggi gradien geotermalnya di Indonesia sekitar 4.68°F/100 kaki, sedangkan gradien geotermal rata-rata untuk Sumatera adalah 3.6°F/100 kaki. Secara umum, gradien hidrotermal yang paling tinggi terletak pada tinggian-tinggian horst dan yang paling rendah ada pada graben. Tinggian-tinggian struktur dibentuk pada peristiwa tektonik temuda (Plio-Plistosen) dan mengindikasikan bahwa tingginya gradien hidrotermal yang ada berkaitan dengan tektonik inversi yang terjadi pada hampir semua bagian di Sumatera. Berdasarkan hubungan yang fundamental antara suhu, kedalaman dan ketebalan sedimen, diasumsikan bahwa graben-graben yang ada lebih dingin dibandingkan dengan struktur yang lebih muda.

Lima juta tahun terakhir menjadi fase penting dalam penempatan hidrokarbon pada perangkapnya sementara pembentukan dan akumulasinya telah terjadi sejak 26 juta tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Kedalaman yang ideal untuk pembentukan hidrokarbon pada graben-graben yang ada adalah sekitar 1.371,6 – 2.133,6 m. Pembentukan hidrokarbon berada dalam kisaran harga reflektansi vitrinit 0,55% - 0,64% untuk kerogen tipe I. Berdasarkan hasil-hasil analisis geokimia seperti TOC, pirolosis Rock-Eval, dan analisis reflektansi vitrinit dari serbuk pemboran dan inti bor sidewall yang diambil dari tujuh sumur mengindikasikan hampir semua formasi yang ada memiliki tingkat kematangan dari belum matang hingga mulai matang.

5.4.3        Reservoir

Reservoir ada pada Grup Sihapas dan Petani, batuan dasar yang terekahkan dan basement wash juga hadir khususnya pada batuan dasar yang diatasnya terdapat seri batuan dengan rekahan yang intensif. Kualitas reservoir yang sangat baik hadir pada Grup Sihapas yang terdiri dari Formasi Tualang, Formasi Lakat, dan Formasi Duri. Reservoir di Formasi Lakat paling baik ditemui pada daerah sayap graben Paleogen dan jarang sekali hadir pada tinggian batuan dasar atau struktur-struktur yang terbentuk awal, hal ini memungkinkan hadirnya perangkap stratigrafi di cekungan ini.

Formasi Tualang tersebar hampir di seluruh daerah Cekungan Sumatera Tengah yang menjadikannya sebagai reservoir utama. Unit ini diendapkan pada lingkungan delta hingga channel pasang surut dan endapan laut marjinal yang berasosiasi dengan sistem delta besar yang terbentuk dari bagian paling timur Paparan Sunda ke arah barat menuju cekungan ini.

Reservoir dari batuan sedimen klastik juga terdapat pada Grup Sihapas, Formasi Telisa. Walaupun didominasi oleh serpih dan batulempung terdapatnya batupasir yang diendapkan dalam lingkungan laut berpotensi untuk menjadi reservoir dengan perangkap stratigrafi. Keterdapatan foraminifera yang banyak, pengisian pori-pori oleh lempung, dan porositas Batupasir Telisa yang berlapis banyak sangat menentukan resistivitas total, porositas, dan bacaan log sinar gamma. Grup Petani Bawah/Formasi Binio terbukti menjadi reservoir untuk akumulasi gas biogenik, belum ada produksi yang ditemukan pada interval ini, akan tetapi Cekungan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan menghasilkan minyak pada interval ini.

5.4.4        Batuan Penyekat

Batuan penyekat yang umum terdapat di cekungan ini berupa serpih yang berada dalam formasi itu sendiri (intraformasi). Belum ada bukti dari rembesan minyak dan gas di cekungan ini yang mengindikasikan adanya kebocoran dari batuan penyekat. Kompetensi batuan penyekat juga dapat dipertimbangkan dari sejumlah blow-out yang terjadi di area.

5.4.5        Migrasi

Cekungan ini dikarakterisasikan oleh tingginya gradien aliran bahang disertai dengan tingkat kematangan yang dicapai pada fase struktur terakhir. Migrasi dari deposenter secara primer dikontrol oleh morfologi struktur dan waktu.

Deformasi yang berumur muda menyebabkan struktur-struktur tua yang ada termiringkan dan hidrokarbon termigrasi kembali menuju perangkap yang lebih muda. Migrasi hidrokarbon di Cekungan Sumatera Tengah dan Pendalian selama ini disimpulkan dikontrol oleh gaya struktur sesar mendatar. Keseluruhan konfigurasi struktur yang ada pada graben-graben tua menjadi jalur-jalur utama migrasi primer maupun sekunder.

5.1       KONSEP PLAY REGIONAL 

Terdapat tiga konsep play regional yang secara konvensional terbukti di Cekungan Sumatera Tengah dikenali di Formasi Lakat, Tualang, Telisa, dan Binio berdasarkan kehadiran lapangan produksi (Gambar 5.7). Tutupannya berupa tutupan empat arah, tutupan yang terikat dengan sesar dan perangkap stratigrafi. Untuk play yang lebih dalam, perangkap struktur memegang peranan yang lebih penting karena lebih dekat dengan posisi graben-graben nya sementara perangkap stratigrafi hanya hadir setempat-setempat sebagai lensa, membaji dan sikuen on-lapping yang terkait batas sikuen khususnya pada sikuen syn-rift sedimen Paleogen. Pada sikuen post rift (sedimen Neogen) anomali amplitudo yang kuat bisa mengindikasikan kehadiran gas. 
Gambar 5.7 Tipe play regional yang terbukti menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatera Tengah (Laporan internal).


DAFTAR PUSTAKA

Daly M.C., Cooper, M.A., Wilson J., Smith, D.G., Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic Plate Tectonics and Basin Evolution in Indonesia; Marine and Petroleum Geology.
Davis, G., Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John Willey and Sons Inc., New York.
de Coster, G.G., 1974, The Geology of the Central and South Sumatera Basins, Indonesian Pet. Assoc., 3rd Annual Convention Proceedings.
Eubank, R.T., Makki, A.C., 1981, Structural Geology of the Central Sumatera Back-arc Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceeding.
Hall, R. & Blundell, D., 1996, Reconstructing Cenozoic SE Asia, (eds.) Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London Special Publication 106, 153-184.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, U.S. Geological Survey Professional Paper, No. 1078, 345p.
Heidrick, T.L., Aulia, K., 1993, A Structural and Tectonic Model of the Coastal Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 22nd Annual Convention Proceedings.
Kingston, D.R., C.P. Dishroon, dan P.A. Williams, 1983, Global Basin Classification System: AAPG Bulletin, vol. 67, hal. 2175 – 2193.
Koning, T., Darmono, F.X., 1984, The Geology of The Beruk Northeast Field, Central Sumatera, Oil Production from Pre-Tertiary Basement Rock, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceeding.
LEMIGAS, 2006, Kuantifikasi Sumberdaya Hidrokarbon, Volume I, Cekungan Sumatera Tengah; LEMIGAS, Jakarta, hal.4-1– 4-11.
Mertosono, S., Nayoan, G.A.S., 1974, The Tertiary Basin Area of Central Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 3th Annual Convention Proceeding.
Metcalfe, I., 1988. Origin and Assembly of Southeast Asian Continental Terranes. In: M.G. Audley-Charles & A. Hallam (eds), Gondwana and Thetys, Geological Society of London, Special Publication 37, 101-118.
PERTAMINA dan BPPKA, 1996, Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods and Application, Vol II: Central Sumatera Basins.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, South Sumatera Basin; PERTAMINA, Jakarta, hal.25 – 39.
Tapponnier, P., Peltzer, G., Armijo, R., 1986, On the Mechanics of the Collision between Indian and Asia, Geological Society of London, Special Publication.




Cekungan Mentawai #7

7.1        REGIONAL      7.1.1         Geometri Cekungan           Cekungan Mentawai merupakan cekungan busur depan ( Paleogene - Neoge...